mangacan.blogspot.com

POLITIK HUKUM

I.    Konfigurasi Hukum dan Politik
Hukum adalah sebuah entitas yang sangat kompleks, meliputi kenyataan kemasyarakatan yang majemuk, mempunyai banyak aspek, dimensi dan fase.
Mahfud M.D dan Harman melihat hukum dari sisi yuridis sosio-politis, yaitu menghadirkan sistem politik sebagai variabel yang mempengaruhi rumusan dan pelaksanaan hukum. Berdasrkan penelitiannya, Mahfud berkesimpulan bahwa suatu proses dan konfigurasi politikrexim tertentu akan sangat signifikan pengaruhnya terhadap suatu produk hukum yang kemudian dilahirkannya. Dalam negara yang konfigurasi politiknya demokratis, produk hukumnya berkarakter responsif atau populistik, sedangkan di negara yang konfigurasi politiknya otoriter, produk hukumnya berkarakter ortodoks dan konservatif atau elitis.
Variabel Bebas            Variabel Terikat
   




Relasi konfigurasi politik dan kekuasaan kehakiman menurut Mahfud M.D

Hasil yang kurang lebih sama diperoleh dari penelitian Benny K. Harman terhadap hubungan linier antara konfigurasi politik dan kekuasaan kehakiman. Menurutnya apabila dalam suatu negara diterapkan suatu konfigurasi politik yang demokratis, karakter kekuasaan kehakiman yang dihasilkan oleh konfigurasi politik semacam itu adalah karakter kekuasaan kehakiman yang independen atau otonom. Begitu pula apabila yang diterapkan konfigurasi politik otoriter atau totaliter, yang dihasilkannya adalah karakter kekuasaan kehakiman yang tidak otonom atau tidak bebas.
Variabel Bebas                Variabel Terikat
   





Relasi konfigurasi politik dan kekuasaan kehakiman menurut Benny K Harman

II.    Tinjauan Umum Politik Hukum
A.    Pengertian Politik Hukum
1.    Perspektif Etimologis
Secara etimologis, istilah politik hukum merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari istilah hukum Belanda rechtspolitiek, yang merupakan bentukan dari dua kata recht dan politiek. Dalam bahasa Indonesia kata recht berarti hukum, sedangkan pengertian hukum adalah seperangkat atuiran tingkah laku yang berlaku dalam masyarakat ( Sri Soemantri Martosoewignjo). Adapun dalam kamus bahasa Belanda, kata politiek mengandung arti beleid. Kata beleid sendiri dalam bahasa Indonesia berarti kebijakan (policy).
Dari penjelasan di atas bias dikatakan bahwa politik hukum secara singkat berarti kebijakan hukum. Adapun kebijakan sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti rangkaian konsep dan asas yang mejadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Dengan kata lain, politik hukum adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak dalam bidang hukum.
2.    Perspektif Terminologis
Berdasarkan pendapat dari para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa : Politik hukum adalah kebijakan dasar penyelenggara Negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan.
Kata kebijakan disini berkaitan dengan adanya strategi yang sistematis, terinci, dan mendasar. Dalam merumuskan dan menetapkan hukum yang telah dan akan dilakukan, politik hukum menyerahkan otoritas legislasi kepada penyelenggara negara, tetapi dengan tetap memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Dan kesemuanya itu diarahkan dalam rangka mencapai tujuan negara yang dicita-citakan.
Hukum sebagai kaidah atau norma sosial tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dan konkretisasi dari nilai-nilai yang pada suatu saat berlakuk dalam masayarakat. Artinya, hukum sedikit banyak akan selalu mengikuti tata nilai yang menjadi kesadaran bersama masayarakat tertentu dan berlaku secara efektif dalam mengatur kehidupan mereka.





B.    Politik Hukum Dalam Perspektif Keilmuan
1.    Politik Hukum dan Disiplin Hukum
Proses interplay antara “cara untuk mencapai tujuan” dan “melihat tujuan yang diinginkan” itulah kemudian yang melahirkan politik hukum, dengan catatan bahwa kata politik disini dipahami dengan pengertian policy, bukan dalam pengertian cara untuk memperoleh kekuasaan. Dalam hal ini yang dimaksud adalah kebijakan hukum (legal policy). Dengan kerangka berpikir seperti ini, mengutip Purnadi Purbacaraka, politik hukum dalam disiplin hukum bergerak pada tataran etik dan teknik kegiatan pembentukan hukum dan penemuan hukum.
Berbeda dengan ilmu hukum (dogmatic hukum dan ilmu kenyataan hukum ) yang bersifat teoritis-rasional dan teoritis-empiris serta filsafat hukum yang bersifat teoritis filosofis, politik hukum berbicara pada tataran empiris-fungsional dengan menggunakan metode teleologis-konstruktif. Artinya politik hukumdalam pengertian sebagai etik dan teknik kegiatan pembentukan hukum dan penemuan hukum, lebih diarahkan untuk melihat sejauh mana hukum yang dibentuk memiliki nilai guna dan gerak dalam proses tranformasi masyarakat yang diinginkan. Agar produk hukum itu sesuai dengan apa yang diinginkan, proses yang melibatkan unsur-unsur yang mendukung terjaminnya proses tersebut harus diperhatikan, termasuk dalam hal ini adalah pengaruh ideology atau ajaran-ajaran politik kendatipun kecilnya pengaruh tersebut.
Sebagai sebuah disiplin hukum, politik hukum memberikan landasan akademis terhadap proses pembentukan dan penemuan hukum yang lebih sesuai dengan konteks kesejarahan, situasi, dan kondisi, kultur, nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, dan dengan memperhatikan pula kebutuhan masyarakat terhadap hukum itu sendiri. Melalui proses seperti ini diharapkan produk hukum yang akan diimplementasikan di tengah-tengah masyarakat dapat diterima, dilaksanakan, dan dipatuhi.
2.    Politik Hukum Sebagai Kajian Hukum Tata Negara
Hal- hal yang berkaitan dengan politik hukum dalam pengertian teoritis dan praktis (menyangkut makna dan jiwa sebuah tata hukum, dan “teknik hukum” yang meyangkut cara membentuk hukum) kini menjadi kahian disiplin hukum tata negara. Ini sesuai dengan pengertian hukum tata negara yang dikemukakan oleh C. Van Vollenhoven yang mengatakan bahwa hukum tata negara adalah rangkaian peraturan hukum, yang mendirikan badan-badan sebagai alat (organ) organ suatu negara, dengan memberikan wewenang kepada badan-badan itu, dan yang membagi-bagi pekerjaan pemerintahh kepada banyak alat negara, baik yang tinggi maupun rendah kedudukannya. Bila dikaitkan dengan sebuiah sistem hukum, hukum tata negara merupakan pondasi. Dasar atau muara berlakunya cabang dan ranting hukum yang lain.
Van Wijk dan le Roy sama-sama menempatkan hukum tata negara sebagai hukum sentral bagi pelaksanaan hukum kenegaraan. Namun, perlu diketahui bahwa pembagian itu baru berbicara tentang produk-produk hukum yang menjadi bagian hukum tata negara, bukan berbicara tentang produk-produk hukum yang menjadi bagian hukum tata negara, bukan berbicara proses hukum dan politik pembentukan produk-produk hukum tersebut. Pada bagian inilah sebenarnya studi politik hukum menjadi sangat penting untuk dicermati, karena berkaitan dengan cara bekerjanya badan-badan negara yang berwenang menetapkan politik hukum sebuah negara.

C.    Ruang Lingkup dan Manfaat Ilmu Politik Hukum
Politik hukum menganut prinsip double movement, yaitu selain sebagai kerangka piker merumuskan kebijakan dalam bidang hukum (legal policy) oleh lembaga-lembaga negara yang berwenang,ia juga dipakai untuk mengkritisi produk-produk hukum yang telah diundangkan berdasarkan legal policy di atas.
Ruang lingkup atau wilayah kajian politik hukum sebagai berikut :
1)    Proses penggalian nilai-nilai dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat oleh penyelenggara negara yang berwenang merumuskan politik hukum.
2)    Proses perdebatan dan perumusan nilai-nilai dan aspirasi tersebut ke dalam bentuk sebuah rancangan peraturan perundang-undangan oleh penyelenggara negara yang berwenang merumuskan politik hukum.
3)    Penyelenggara negara yang berwenang merumuskan dan menetapkan politik hukum
4)    Peraturan perundang-undangan yang memuat politik hukum
5)    Faktor-faktor yang mempengaruhi dan menentukan suatu politik hukum, baik yang akan, sedang , dan telah ditetapkan.
6)    Pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang merupakan implementasi dari politik hukumm suatuu negara.
Enam masalah itulah yang seterusnya akan menjadi wilayah telaah dari politik hukum. Dalam hal ini, politik hukum secara umum bermanfaat untuk mengetahui bagaimana proses-proses yang tercakup dalam enam wilayah kajian itu dapat menghasilkan sebuah legal policy yang sesuai dengan kebutuhan dan rasa keadilan masyarakat. Enam wilayah itu tentu saja bersifat integral satu sama lain.

III.    Politik Hukum Nasional
A.    Pengertian dan Tujuan Politik Hukum Nasional
1.    Pengertian Politik Hukum Nasional
Politik hukum nasional adalah kebijakan dasar penyelenggara negara (Republik Indonesia) dalam bidang hukum yang akan, sedang, dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan. Dari pengertian tersebut ada lima agenda yang ditekankan dalam politik hukum nasional, yaitu :
1)    Masalah kebijakan dasar yang meliputi konsep dan letak
2)    Penyelenggara negara membentuk kebijakan dasar tersebut
3)    Materi hukum yang meliputi hukum yang akan, sedang dan telah berlaku
4)    Proses pembentukan hukum
5)    Tujuan politik hukum nasional
2.    Tujuan Politik Hukum Nasional
Tujuan politik hukum nasional meliputi dua aspek yang saling berkaitan yaitu :
1)    Sebagai suatu alat (tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan suatu sistem hukum nasional yang dikehendaki
2)    Dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang lebih besar.

a.    Sistem Hukum Nasional
Sistem adalah sehimpunan unsur yang melakukan suatu kegiatan atau menyusun skema atau tata cara melakukan sesuatu kegiatan pemrosesan, untuk mencapai sesuatu atau beberapa tujuan. Adapun hukum nasional adalah hukum atau peraturan perundang-undangan yang didasarkan kepada landasan ideologi dan konstitusional negara, yaitu Pancasila dan UUD 1945 atau hukum yang dibangun di atas kreativitas atau asas yang didasarkan atas cita rasa dan rekayasa bangsa.
Bila merujuk dari penjelasan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa sistem hukum nasional adalah sebuah sistem hukum (meliputi hukum materiil dan formil; pokok dan sektoral) yang dibangun berdasarkan ideologi negara Pancasila dan UUD 1945, serta berlaku di seluruh Indonesia.
Dalam hal ini, Arief Sidharta mengusulkan tatanan hukum nasional Indonesia harus mengandung ciri-ciri :
1)    Berwawasan kebangsaan dan berwawasan nusantara.
2)    Mampu mengakomodasi kesadaran hukum kelompok etnis kedaerahan dan keyakinan keagaman.
3)    Sejauh mungkin berbentuk tertulis dan terunifikasi.
4)    Bersifat rasional yang mencakup rasionalitas efisiensi, rasionalitas kewajaran, rasionalitas kaidah, dan rasionalitas nilai.
5)    Aturan prosedural yang menjamin transparansi, yang memungkinkan kajian rasional terhadap proses pengambilan putusan oleh pemerintah.
6)    Responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat.

b.    Hukum Demokratis dan Responsif
Politik hukum nasional (mengutip Philipe Nonet dan Philip Selznick dalam bukunya Law and Society in Transition; Toward Law) bertujuan menciptakan sebuah sistem hukum nasional yang rasional, trnasparan, demokratis, otonom dan responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat, bukan sebuah sistem hukum yang bersifat menindas, ortodoks, dan reduksionistik.
1)    Hukum Otonom dan Hukum Menindas
Gagasan hukum menindas mengindikasikan bahwa setiap hukum merupakan “keadilan yang beku” dan mempunyai potensi represif. Dalam hubungannya dengan kekuasaan, lebih sistematis hukum menindas mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a)    Pranata-pranata hukum seara langsung disediakan bagi kekuasaan politik; hukum diidentifiikasikan dengan negara dan tunduk pada kepentingan negara.
b)    Kelestarian kekuasaan adalah tugas dari penegak hukum.
c)    Alat-alat pengendalian khusus, seperti polisi menjadi pusat kekuasaan yang bebas.
d)    Pelembagaan keadilan kelas.
No.    Perihal    Tipe Menindas    Ttipe Otonom
1    Tujuan Hukum    Ketertiban    Kesahan
2    Legitimasi    Pertahanan Sosial dan Raison d’etat    Menegakkan Prosedur
3    Peraturan    Kasar dan terperinci; tetapi hanya mengikat pembuat peraturan secara lemah    Sangat terurai; mengikat pembuat maupun mereka yang diatur
4    Panalaran    Ad hoc; sesuai keperluan partikularistik    Mengikat diri secara ketat kepada hukum; peka terhadap formalisme dan legalisme
5    Diskresi    Merata; oportunistik    Dibatasi oleh peraturan-peraturan; pendelegasian sangat terbatas
6    Pemaksaan    Luas sekali; pembatasannya lemah    Dikontrol oleh pembatasan-pembatasan hukum
7    Moralitas    Moralitas komunal; moralitas hukum; moralitas pemaksaan    Moralitas kelembagaan, yaitu diikat oleh pemikiran tentang integritas dari proses hukum
8    Kaitan Politik    Hukum ditundukkan kepada politik kekuasaan    Hukum bebas dari politik; pemisahan kekuasaan
9    Harapan Terhadap Kepatuhan    Tidak bersyarat; ketidakpatuhan dengan begitu saja dianggap menyimpang    Bertolak dari peraturan yang sah, yaitu menguji kesahan UU, peraturan
10    Partisipasi    Tunduk dan patuh; kritik dianggap tidak loyal    Dibatasi oleh prosedur yang ada; munculnya kritik hukum

2)    Hukum Ortodoks dan Hukum Responsif
Dalam strategi pembangunan hukum ortodoks, peranan lembaga-lembaga negara sangat dominan dan monopolis dalam menentukan arah pembangunan hukum. Sebaliknya, pada strategi pembangunan hukum responsif yang mempunyai peranan besar adalah lembaga peradilan dan partisipasi luas kelompok-kelompok sosial atau indivvidu-individu dalam masyarakat.
3)    Hukum Imperatif dan Fakultatif
Hukum imperatif adalah kaidah-kaidah hukum yang secara a priori harus ditaati. Ia mempunyai kekuatan untuk memaksa dan mengikat secara mutlak. Sedangkan hukum fakultatif tidaklah secara a priori harus ditaati atau tidak a priori untuk dipatuhi, melainkan sekedar melengkapui, subsidair atau dispositif. Dalam hukum fakultatif masih terdapat ruang pilihan untuk melakukan yang lain ataupun sama sekali tidak melakukannya.



c.    Cita-Cita Bangsa Indonesia
Idealitas sistem hukum nasional itu pada dasarnya adalah dalam rangka membantu terwujudnya keadilan sosial dan kemakmuran masyarakat atau sebagaimana disebutkan dalam pembukaan UUD 1945 :
1)    Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
2)    Memajukan kesejahteraan umum
3)    Mencerdaskan kehidupan bangsa
4)    Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.


B.    Karakteristik politik Hukum Nasional
Karakteristik yang dimaksud adalah kebijakan atau arah yang akan dituju oleh politik hukum nasional dalam masalah pembangunan hukum nasional, sebagai bentuk dari kristalisasi kehendak-kehendak rakyat.
Karakteriistik sistem hukum nasional yang termuat pada butir ke-2 TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN adalah :
1)    Sistem hukum nasional yang dibentuk hendaknya bersifat menyeluruh dan terpadu.
2)    Sistem hukum nasional yang dibentuk tetap mengakui dan menghormati eksistensi hukum agama dan hukum adat.
3)    Melakukan pembaruan terhadap warisan hukum kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif dan tidak sesuai dengan tujuan reformasi.



Identitas Buku
Judul        : Dasar-Dasar Politik Hukum
Pengarang    : Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari
Penerbit    : PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Tahun        : 2003
Jumlah Hal.    : 127

TUGAS KULIAH MK : Surat Permohonan Pengujian UU BHP


Jakarta,  28 Maret 2012

Kepada Yang Mulia
KETUA MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
Jl. Medan Merdeka Barat No.6
Jakarta 10110

HAL   : PERMOHONAN  PENGUJIAN  PASAL 41 AYAT (7) DAN PASAL (8)  UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG   BADAN HUKUM PENDIDIKAN (BHP) TERHADAP UNDANG – UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN  1945.
Dengan hormat,
Saya yang bertanda-tangan di bawah ini :
Nama                           : Dedi Triyanto
Tempat/tanggal lahir   : Sragen, 28 Februari 1977
Agama                         : Islam
Pekerjaan                     : Swasta
Kewarganegaraa         : Indonesia
Alamat lengkap           : Gemolong, Sragen, Jawa Tengah
Selanjutnya disebut sebagai “Pemohon”.
Pemohon   dengan ini mengajukan Permohonan Pengujian Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang  Badan Hukum Pendidikan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebelum melanjutkan pada uraian tentang permohonan beserta alasan-alasannya, Pemohon ingin lebih dahulu menguraikan tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi dan ”legal standing” Pemohon sebagai berikut:
  1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
1.      Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan pengujian terhadap Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang  Badan Hukum Pendidikan (UU No. 9 Tahun 2009).
2.      Merujuk pada ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf (a) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK),  bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian undang-undang  terhadap Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945).
Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 antara lain menyatakan :
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar,…”
Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK antara lain menyatakan :
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk”:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, …”
3.      Selain itu, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengatur bahwa secara hierarkis kedudukan UUD 1945 lebih tinggi dari undang-undang. Oleh karena itu, setiap ketentuan undang-undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Jika terdapat ketentuan dalam undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945, maka ketentuan tersebut dapat dimohonkan untuk diuji melalui mekanisme pengujian undang-undang.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan memutus permohonan pengujian Undang-Undang ini.
  1. Kedudukan Hukum (legal standing) Pemohon
  1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU MK mengatur bahwa :
a.       “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: Perorangan warga negara Indonesia;
b.      ..Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan  perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c.       Badan hukum publik atau privat; atau
d.      Lembaga negara.
Selanjutnya penjelasan Pasal 51 ayat (1) menyatakan :
Yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bahwa Pemohon adalah perorangan Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud Pasal 52 ayat (1) huruf a UU MK yang hak-hak konstitusionalnya telah  dirugikan oleh berlakunya Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan  yang mengatur tentang pembiayaan badan hukum pendidikan yang harus ditanggung oleh pemerintah beserta masyarakat, dalam hal ini adalah peserta didik.
Bahwa merujuk kepada Putusan Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/ 2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 dan putusan-putusan selanjutnya, berpendirian bahwa kerugian hak dan/ atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
1.      Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945.
2.      Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
3.      Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
4.      Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
5.      Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Dengan demikian maka ada lima syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam  menguji undang-undang terthadap Undang-Undang Dasar. Syarat pertama adalah kualifikasi Pemohon sebagai warga negara Republik Indonesia, untuk bertindak sebagai pemohon sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK. Syarat kedua dengan berlakunya suatu undang-undang hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon dirugikan. Syarat ketiga, kerugian konstitusional tersebut bersifat spesifik. Syarat keempat kerugian tersebut  timbul akibat berlakunya undang-undang yang dimohon. Syarat kelima, kerugian konstitusional tersebut tidak akan terjadi lagi kalau permohonan ini dikabulkan.
Bahwa uraian di atas membuktikan bahwa Pemohon (Perseorangan Warga Negara Indonesia) memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang ini.
Bahwa berdasarkan kualifikasi dan syarat tersebut di atas, maka  Pemohon   sebagai Warga Negara Indonesia, benar-benar telah dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya akibat berlakunya Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP)  karena hal tersebut dapat menimbulkan diskrimanasi dalam memperoleh pendidikan yang sama. Akhirnya, apabila permohonan pengujian terhadap ketentuan Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) dikabulkan, maka hak dan/atau kewenangan konstitusional   Pemohon tidak lagi dirugikan.  Dengan demikian, syarat kedudukan hukum (legal standing) Pemohon telah sesuai dan memenuhi ketentuan yang berlaku.
  1. ALASAN-ALASAN  PEMOHON MENGAJUKAN PERMOHONAN PENGUJIAN PASAL 41 AYAT (7) DAN AYAT (8) UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN (BHP)
  1. Pemohon Berhak Atas Pendidikan Yang Layak Dan Setara Tanpa Adannnya Diskriminasi
1.      Bahwa sejak dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, telah terjadi perubahan yang mendasar dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Perubahan pokok dilakukan pada diakuinya hak-hak asasi manusia, termasuk adanya kesamaan di dalam memperoleh pendidikan yang sama.
2.      Bahwa sesuai dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
3.      Bahwa secara yuridis Undang-Undang Dasar Tahun 1945 memberikan jaminan semua warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak dan setara sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
4.      Bahwa bunyi Pasal 31 ayat (2) menyebutkaan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Maka sesuai dengan pasal tersebut pemerintah wajib membiayai pendidikan dasar dari setiap warga negara.
Norma konstitusi di atas mencerminkan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang berlaku bagi seluruh manusia secara universal. Dalam kualifikasi yang sama, setiap manusia, termasuk di dalamnya Pemohon. Namun pada kenyataannnya ada warga negara yang tidak dapat memperoleh pendidikan yang layak seperti yang dijamin dalam konstitusi negara Indonesia.
  1. Pasal 41 Ayat (7) Dan Ayat (8) Menimbulkan Beban Biaya Pendidikan Yang Dapat Memberatkan Para Peserta Didik
1.      Bahwa menurut UU No. 9 Tahun 2009, Pasal 41 ayat (7) menyatakan bahwa Peserta didik harus ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan harus menanggung biaya tersebut sesuai dengan kemampuan peserta didik, orang tua, atau pihak yang bertanggung jawab membiayainya.
2.      Bahwa menurut UU No. 9 Tahun 2009, Pasal 41 ayat (8) menyatakan Biaya penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) yang ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan menengah berstandar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan pada BHPP atau BHPPD paling banyak 1/3 (sepertiga) dari biaya operasional.
Bahwa dengan kenyataan seperti itu, Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) UU No. 9 Tahun 2009 pada akhirnya dapat menimbulkan beban pada peserta dalam hal pendanaan pada Badan Hukum Pendidikan. Hal itu disebabkan karena biaya penyelenggaraan dari Badan Hukum Pendidikan tersebut harus ikut ditanggung oleh peserta didik, orang tua, ata pihak yang bertanggung jawab membiayainya. Dengan demikian hal tersebut menimbulkan akibat bahwa beban pembiayaan sekolah harus ditanggung oleh peserta didik yang seharusnya biaya tersebut harus ditanggung oleh pemerintah. Karena pemerintah harus berkewajiban dan menjamin pendidikan dasar 9 tahun yang layak bagoi setiap warga negara. Hal tersebut bisa dikatakan sebagai lepas tangan dari tanggung jawab pemerintah dalam hal pembiayaan pendidikan dari pemerintah kepada masyarakat.
Selain itu bunyi pasal 41 ayat (7) Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 menyatakan bahwa peserta didik harus menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Hal tersebut dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda didalam badan hukum pendidikan mengenai besarnya biaya pendidikan yang harus ikut ditanggunng oleh peserta didik. Dengan demikian sekolah yang telah menjadi Badan Hukum Pendidikan dapat menentukan besar kecilnya biaya pendidikan kepada peserta didik sesuai dengan kewenangan sekolah tanpa adanya aturan yang mengatur tentang hal tersebut. Bila hal tersebut dilaksanakan maka masyarakat yang tidak mampu atau masyarakat menengah ke bawah kemungkinan tidak akan mampu membayar biaya pendidikan yang telah ditentukan oleh sekolah tersebuut sehinga peserta didik mengalami putus sekolah dan tidak dapat menikmati pendidikan yang layak dari pemerintah.   

  1. POKOK-POKOK PERMOHONAN
Bahwa Pemohon mempunyai legal standing dalam perkara pengajuan permohonan ini;
1.      Bahwa Pemohon telah mengalami kerugian konstitusional, karena Pemohon sebagai orang tua didik telah kehilangan hak atas pendidikan yang layak bagi putra-putrinya sebagaimana Pasal 31 ayat (1) UUD 1945.
2.      Bahwa Pemohon merasa menjadi korban dari ketidakadilan dari Undang-Undang BHP tersebut dikarenakan Pemohon merasa pemerintah telah melepaskan tanggung jawab biaya pendidikan kepadanya.
3.      Bahwa Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) UU NO. 9 Tahun 2009, berpotensi untuk menimbulkan beban kepada peserta didik atau orang tua dalam hal pembiayan baiaya pendidikan. Karena peserta didik atau orang tua harus ikut dalam mengadakan biaya penyelenggaraan sekolah yang telah menjadi Badan Hukum Pendidikan, dan hal itu akan menimbulkan bebean finansial bagi peserta didk dalam memperoleh pendidkan yang layak.
4.      Bahwa Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) UU NO. 9 Tahun 2009, berpotensi menimbulkan adannya diskriminasi dalam memperoleh pendidikan yang layak. Orang tua peserta didik yang tidak mampu membayar biaya pendidikan tersebut akan memilih untuk tidak menyekolahkan anaknsebut, sehingga peserta didik yang bersangkutan dapat mengalami putus sekolah.
5.      Bahwa Pasal 22 ayat (1) d UU NO. 16 Tahun 2004  tersebut  telah merugikan Pemohon secara aktual, karena :
a.       Pemohon merasa merupakan korban dari lepas tangan tanggung jawab pemerintah dalam bidang pendidikan.
b.      Pemohon telah kehilangan hak untuk dapat menikmati pendidikan yang layak.
c.       Pemohon telah merasa mengalami diskriminasi dalam bidang pendidikan, khususnya dalam hal pendaftaran peserta didik ke sekolah yang telah menjadi Badan Hukum Pendidikan.
6.      Ketentuan Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) UU No. 9 Tahun 2009, merupakan pasal yang potensial dikualifikasi melanggar prinsip penghormatan dan pengakuan terhadap hak asasi manusia, dalam hal ini hak untuk memperoleh pendidikan yang layak. Dengan perumusan Pasal yang demikian, maka Pasal a quo tidak proporsional dan berlebihan dan dengan sendirinya melanggar  Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
  1. Provisi
  1. Bahwa mengingat Pasal 58 UU Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan  bahwa Putusan Mahkamah tidak berlaku surut, maka untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak konstitusional  Pemohon. Pemohon memohon agar Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menerbitkan Putusan Sela yang memerintahkan penundaan bagi keberlakuan UU BHP tersebut dan merevisi isi dari Undang-Undang tersebut terutama pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) yang menjadi tuntutan Pemohon.
  2. Adalah benar bahwa pemeriksaan perkara pengujian undang-undang sebagaimana dikatakan dalam keterangan pers Ketua Mahkamah Konstitusi baru-baru ini adalah bersifat abstrak, yakni menguji pasal tertentu dari suatu undang-undang dengan pasal tertentu dari UUD 1945, namun patut disadari bahwa subyek hukum pemohon yang mengajukan perkara pengujian undang-undang berkewajiban untuk mendalilkan bahwa telah ada hak konstitusionalnya yang bersifat kongkrit dan faktual yang dilanggar dengan berlakunya suatu undang-undang. Dengan cara itulah subyek hukum itu baru dianggap memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang.  Tanpa bukti kongkrit dan faktual seperti itu, maka subyek hukum tidaklah memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang. Karena itu tidaklah sepadan dan sebanding, jika permohonan yang wajib dibuktikan telah ada kerugian hak konstituional, yang berarti perkara dimulai dengan kasus yang nyata dan faktual terjadi, namun proses pemeriksaan pengujian justru mengabaikannya dan memandang perkara sebagai semata-mata bersifat abstrak. Kemudian dengan cara pandang abstrak seperti itu, Mahkamah Konstitusi tidak diberi kewenangan oleh undang-undang untuk memberikan putusan provisi dalam perkara pengujian undang-undang. Kekosongan pengaturan mengenai putusan provisi, selain bertentangan dengan norma dasar keadilan yang justru harus menjiwai perumusan norma-norma hukum, tetapi juga mengandung corak pembiaran bagi aparatur Negara dan/atau aparatur pemerintah untuk bertindak sewenang-wenang melanggar dan merugikan hak konstitusional seseorang yang dijamin oleh UUD dengan cara menerapkan dan/atau menafsirkan suatu ketentuan undang-undang. Sementara norma undang-undang itu  sedang diuji untuk memastikan apakah norma undang-undang itu bertentangan dengan UUD atau tidak. Atau sekurang-kurangnya sedang dimohonkan kepada  Mahkamah Konstitusi untuk memberikan tafsir final  agar norma undang-undang tidak bertentangan dengan norma Konstitusi. Karena itu, Pemohon berpendapat bahwa sudah sepantasnya, Mahkamah Konstitusi memperluas jusrisprudensi mengenai dikabulkannya permohonan provisi sebagaimana tertuang dalam Putusan No 133/PUU-VII/2009, terutama terhadap kasus-kasus kongkrit dan faktual yang dialami oleh seseorang yang membuatnya memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang yang berkaitan langsung dengan hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945.
Dengan semua argumen dan alasan-alasan yang dikemukakan diatas, Pemohon memohon dengan segala hormat kepada Majelis Hakim Konstitusi, dengan segala kebijaksanaan dan pengalaman yang dimilinya, kiranya berkenan untuk mengabulkan permohonan provisi ini.
  1. PETITUM
Bahwa dari seluruh dalil-dalil yang diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir, dengan ini Pemohon mohon kepada para Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk kiranya berkenan memberikan putusan sebagai berikut:
Dalam Provisi:
1.      Menerima permohonan Provisi  Pemohon;
2.      Menunda atau membatalkan keberlakuan dari Undang-Undang No.9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan atau merevisi Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) karena pasal tersebut dirasa merugikan Pemohon sebagai warga negara yang berhak atas pendidikan yang layak.
Dalam Pokok Perkara:
1.      Menerima dan mengabulkan permohonan  pengujian Pasal 41 ayat (7) dan (8) UU No. 9 Tahun 2009  tentang   Badan Hukum Pendidikan (BHP)  terhadap Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun  1945;
2.      Menyatakan Pasal Pasal 41 ayat (7) dan (8) UU No. 9 Tahun 2009  tentang   Badan Hukum Pendidikan (BHP)   bertentangan dengan Pasal 31 ayat (1) danayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sepanjang tidak ditafsirkan sesuai masa jabatan Presiden dan masa jabatan anggota kabinet; 
3.      Menyatakan Pasal Pasal 41 ayat (7) dan (8) UU No. 9 Tahun 2009  tentang   Badan Hukum Pendidikan (BHP), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya, sepanjang tidak ditafsirkan sesuai masa jabatan Presiden dalam satu periode dan masa jabatan anggota kabinet;
4.      Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat dan menganggap Pasal 41 ayat (7) dan (8) UU No. 9 Tahun 2009  tentang   Badan Hukum Pendidikan (BHP) tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat dan  berlaku, mohon agar Majelis Hakim Konstitusi dapat memberikan tafsir konstitusional terhadap Pasal 41 ayat (7) dan (8) UU No. 9 Tahun 2009  tentang   Badan Hukum Pendidikan (BHP), dengan menyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) diartikan bhawa peserta didik tidak ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidkan dari Badan Hukum Pendidikan atau terdapat  aturan mengenai besar kecilnya biaya pendidkan yang harus ditanggung peserta didik secara proporsional dan berkeadilan.
5.      Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)


Hormat Pemohon

Dedi Triyanto

Kearifan Lokal

A.    Pengertian Kearifan Lokal
Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Local Genius sebagai Local Wisdom
Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius. Local genius ini merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini (lihat Ayatrohaedi, 1986). Antara lain Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Sementara Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya adalah:
1.      mampu bertahan terhadap budaya luar
2.      memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar
3.      mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli
4.      mempunyai kemampuan mengendalikan
5.      mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
Perilaku yang bersifat umum dan berlaku di masyarakat secara meluas, turun temurun, akan berkembang menjadi nilai-nilai yang dipegang teguh, yang selanjutnya disebut sebagai kebudayaan (budaya). Kearifan lokal didefinisikan sebagai kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah (Gobyah, 2003). Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu (Ridwan, 2007). Kearifan (wisdom) secara etimologi berarti kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi sesuatu kejadian, obyek atau situasi. Sedangkan lokal, menunjukkan ruang interaksi dimana peristiwa atau situasi tersebut terjadi.
Dengan demikian, kearifan lokal secara substansial merupakan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku sehari-hari. Oleh karena itu, kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya (Geertz, 2007).
S. Swarsi Geriya dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali”, mengatakan bahwa secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga.
Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik, karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang dan mengalami penguatan (reinforcement). Apabila suatu tindakan tidak dianggap baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara terus-menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik atau mengandung kebaikan. Adat yang tidak baik akan hanya terjadi apabila terjadi pemaksaan oleh penguasa. Bila demikian maka ia tidak tumbuh secara alamiah tetapi dipaksakan.
B.     Contoh dan Fungsi Kearifan Lokal
Menurut Prof. Nyoman Sirtha dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dalam http://www.balipos.co.id, bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Oleh karena bentuknya yang bermacam-macam dan ia hidup dalam aneka budaya masyarakat maka fungsinya menjadi bermacam-macam.
Balipos terbitan 4 September 2003 memuat tulisan “Pola Perilaku Orang Bali Merujuk Unsur Tradisi”, antara lain memberikan informasi tentang beberapa fungsi dan makna kearifan lokal, yaitu:
1.      Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam.
2.      Berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia, misalnya berkaitan dengan upacara daur hidup, konsep kanda pat rate.
3.      Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, misalnya pada upacara saraswati, kepercayaan dan pemujaan pada pura Panji.
4.      Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.
5.      Bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunal/kerabat.
6.      Bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian.
7.      Bermakna etika dan moral, yang terwujud dalam upacara Ngaben dan penyucian roh leluhur.
8.      Bermakna politik, misalnya upacara ngangkuk merana dan kekuasaan patron client
Dari penjelasan fungsi-fungsi tersebut tampak betapa luas ranah keraifan lokal, mulai dari yang sifatnya sangat teologis sampai yang sangat pragmatis dan teknis. Elly Burhainy Faizal mencontohkan beberapa kekayaan budaya, kearifan lokal di Nusantara yang terkait dengan pemanfaatan alam yang pantas digali lebih lanjut makna dan fungsinya serta kondisinya sekarang dan yang akan datang. Kearifan lokal terdapat di beberapa daerah:
1.      Papua, terdapat kepercayaan te aro neweak lako (alam adalah aku). Gunung Erstberg dan Grasberg dipercaya sebagai kepala mama, tanah dianggap sebagai bagian dari hidup manusia. Dengan demikian maka pemanfaatan sumber daya alam secara hati-hati.
2.      Serawai, Bengkulu, terdapat keyakinan celako kumali. Kelestarian lingkungan terwujud dari kuatnya keyakinan ini yaitu tata nilai tabu dalam berladang dan tradisi tanam tanjak.
3.      Dayak Kenyah, Kalimantan Timur, terdapat tradisi tana‘ ulen. Kawasan hutan dikuasai dan menjadi milik masyarakat adat. Pengelolaan tanah diatur dan dilindungi oleh aturan adat.
4.      Masyarakat Undau Mau, Kalimantan Barat. Masyarakat ini mengembangkan kearifan lingkungan dalam pola penataan ruang pemukiman, dengan mengklasifikasi hutan dan memanfaatkannya. Perladangan dilakukan dengan rotasi dengan menetapkan masa bera, dan mereka mengenal tabu sehingga penggunaan teknologi dibatasi pada teknologi pertanian sederhana dan ramah lingkungan.
5.      Masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan, Kampung Dukuh Jawa Barat. Mereka mengenal upacara tradisional, mitos, tabu, sehingga pemanfaatan hutan hati-hati. Tidak diperbolehkan eksploitasi kecuali atas ijin sesepuh adat.
Kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai yang profan.
Contoh Kearifan Lokal yang ada di Indonesia
Kearifan-kearifan lokal di Indoensia ini sangat kaya, beragam, dan menyebar di keseluruhan kawasan di Indonesia. Kearifan lokal ini umumnya dapat dijumpai dalam adat. Istilah inilah yang menjadi dasar dari kearifan lokal bangsa Indonesia. Adat dijumpai dalam kebudayaan etnik di seluruh Indonesia. Adat masyarakat Nusantara ini, memiliki konsep-konsepnya sendiri pula. Di Aceh adatnya disebut dengan adat bak petumeuruhom hukom bak syiah kuala. Dalam kebudayaan Minangkabau adat dikonsepkan sebagai adat basandikan syarak, syarak basandikan kitabullah, syarak mangato, adat mamakai. Berikut dideskripsikan konsep kearifan lokal (adat) Melayu.
Menurut  Lah Husni  adat pada etnik Melayu  tercakup  dalam empat  ragam,  iaitu: (1) adat yang sebenar adat;  (2)  adat yang  diadatkan;  (3)  adat  yang  teradat,  dan  (4)   adat istiadat.  (1) Adat yang sebenar adat adalah apabila menurut waktu dan keadaan, jika dikurangi akan merusak, jika dilebihi akan mubazir  (sia-sia).   Proses ini berdasar kepada:  (a)  hati nurani  manusia budiman, yang tercermin dalam  ajaran  adat: Pisang emas bawa belayar; Masak sebiji di dalam peti; Hutang emas dapat dibayar; Hutang budi dibawa mati.  (b)  kebenaran yang  sungguh ikhlas, dengan berdasar pada:  berbuat  karena Allah bukan karena ulah; (c) keputusan yang berpadan, dengan berdasar  kepada:  hidup  sandar-menyandar,  pisang   seikat digulai  sebelanga,  dimakan bersama-sama.  yang  benar  itu harus   dibenarkan,  yang  salah  disalahkan.   Adat   murai berkicau,  tak  mungkin menguak.  Adat  lembu  menguak,  tak mungkin  berkicau.   Adat sebenar adat  ini  menurut  konsep etnosains Melayu adalah: penuh tidak melimpah, berisi  tidak kurang,  yang  besar dibesarkan, yang  tua  dihormati,  yang kecil  disayangi,  yang sakit diobati, yang  bodoh  diajari, yang benar diberi hak, yang kuat tidak melanda, yang  tinggi tidak   menghimpit,   yang  pintar   tidak   menipu,   hidup berpatutan,  makan berpadanan.  Jadi ringkasnya,  hidup  itu seharusnya  harmonis,  baik mencakup diri  sendiri,  seluruh negara,  dan  lingkungan  hidupnya. Tidak  ada  hidup   yang bernafsi-nafsi.  Inilah adat yang tidak boleh berubah (Lah Husni, 1986:51).
(2)  Adat yang diadatkan adalah adat itu  bekerja  pada suatu  landasan  tertentu,  menurut  mufakat  dari  penduduk daerah  tersebut--kemudian  pelaksanaannya  diserahkan  oleh rakyat kepada yang dipercayai mereka. Sebagai pemangku adat adalah  seorang  raja atau penghulu.  Pelaksanaan  adat  ini wujudnya  adalah  untuk  kebahagiaan  penduduk,  baik  lahir ataupun batin, dunia dan akhirat, pada saat itu dan saat yang akan  datang.  Tiap-tiap negeri itu mempunyai  situasi  yang berbeda  dengan  negeri-negeri  lainnya,  lain  lubuk   lain ikannya  lain padang lain belalangnya. Perbedaan  keadaan, tempat,  dan kemajuan sesuatu negeri itu membawa  resam  dan adatnya sendiri, yang sesuai dengan kehendak rakyatnya, yang diwarisi  dari leluhurnya.  Perbedaan  itu  hanyalah  dalam lahirnya saja, tidak dalam hakikinya.   Adat yang  diadatkan ini  adalah  sesuatu  yang  telah  diterima  untuk menjadi kebiasaan atau peraturan yang diperbuat bersama atas mufakat menurut ukuran yang patut dan benar, yang dapat dimodifikasi sedemikian  rupa  secara fleksibel.  Dasar  dari adat  yang diadatkan  ini  adalah: penuh tidak melimpah,  berisi  tidak kurang, terapung tidak hanyut, terendam tidak basah (Lah Husni, 1986:62).
(3)  Adat yang teradat adalah kebiasaan-kebiasaan  yang secara  berangsur-angsur  atau cepat menjadi  adat.  Sesuai dengan  pepatah:  sekali  air bah,  sekali  tepian  berpindah, sekali  zaman beredar, sekali adat berkisar.  walau  terjadi perubahan adat itu, inti adat tidak akan lenyap: adat pasang turun-naik,  adat  api  panas,  dalam  gerak  berseimbangan, di antara akhlak dan pengetahuan.  Perubahan itu hanya  terjadi dalam  bentuk ragam, bukan dalam hakiki dan  tujuan  semula.  Umpamanya jika dahulu orang memakai tengkuluk atau ikat kepala dalam suatu majelis, kemudian sekarang memakai kopiah itu menjadi  pakaian yang teradat.  Jika dahulu berjalan  berkeris atau  disertai  pengiring, sekarang tidak  lagi. Jika  dahulu warna  kuning  hanya raja yang  boleh  memakainya,  sekarang siapa pun boleh memakainya (Lah Husni, 1986:62).
(4)   Adat  istiadat  adalah  kumpulan  dari   berbagai kebiasaan,  yang  lebih  banyak  diartikan tertuju   kepada upacara khusus seperti adat: perkawinan, penobatan raja, dan pemakaman  raja. Jika hanya adat saja  maka  kecenderungan pengertiannya adalah sebagai himpunan hukum, misalnya: hukum  ulayat, hak asasi dan sbagainya. Dalam konteks kebudayaan Melayu, adat istiadat ini mencakup daur hidup manusia Melayu, yang tercermin dalam upacara melenggang perut saat perempuan Melayu hamil. Kemudian upacara kelahiran, akikah, manabalkan nama, bercukur, dan memijak tanah. Seterusnya upacara khitanan pada saat akil baligh. Kemudian ada pula upacara perkawinan adat Melayu, yang mencakup tahapan-tahapan seperti merisik kecil, meminang, jamu sukut, akad nikah, hempang pintu, hempang batang, hempang kipas, duduk di pelaminan, mandi bedimbar, meminjam pengantin, dan setersnya. Selanjutnya ada pula upacara kematian, membaca Yassin, kirim doa, dan seterusnya. Dalam kebudayaan Melayu terdapat juga upacara-upacara yang bersifat menyatu dengan alam (kosmologi) seperti mulaka nukah, mulaka ngerbah, jamu laut, mandi Syafar, dan lain-lainnya. Yang jelas adat istiadat Melayu lahir karena respins terhadap alam.
Dalam adat Melayu kearifan-kearifan lokal dalam konteks membentuk kepribadian dan kebangsaan, sangat lekat dengan  konsep adat yang diadatkan. Bahwa orang Melayu sangatlah menghargai pemimpin seperti sultan, raja, perdana menteri, menteri, panglima, penghulu, ketua mukim, dan lain-lainnya. Orang Melayu perlu memiliki pemimpin yang adil, bijaksana, bisa diperaya (amanah), selalu berusaha untuk benar dalam hidup, dan lain-lainnya. Pemimpin menjadi sebuah kewajiban dalam tata pemerintahan dan politik dalam kebudayaan Melayu. Seperti tercermin dalam ajaran adat: Apa tanda Melayu jati/ mengangkat pemimpin bijak bestari/ Apa tanda Melayu jati/ Pemimpin dan ulama mesti bersebati. Dengan adanya pemimpin dan rakyat yang dipimpin menjadikan umat Melayu memiliki tata pemerintahnya dan selanjutnya ketika nasionalisme muncul mereka membentuk negara bangsa. Ini salah satu karakter kepemimpinan yang bisa diterapkan dalam konteks menuju karakter bangsa.
Dalam adat Melayu juga dikenal kearifan lokal, bahwa hidup dikandung adat, biar mati anak asal jangan mati adat. Artinya bahwa orang Melayu sangatlah memperhatikan kesinambungan dan pendidikkan kebudayaan. Bila adat itu lestari maka akan lestarilah kebudayaan Melayu. Jika keturunan kita berbuat salah maka kita jangan segan memberikan hukuman atau sangsi sosial sebagaimana yang berlaku. Bukan saja kearifan lokal Melayu, beberapa kelompok etnik di Nusantara ini juga memiliki kearifan lokal yang berkaitan dengan pembentukan karakter bangsa. Misalnya pada etnik Nias, sistem penggolongan derajat manusia berasaskan tingkat-tingkat kehidupan, dimulai dari janin sampai kehidupan akhirat.  Pengertian bosi ini mencakup dua belas tingkat kehidupan.  Dalam konteks ini, bosi nantinya mengarahkan manusia untuk berusaha mencapai tingkat tertinggi, agar setelah ia mati, akan memperoleh kebahagiaan di dalam teteholi ana’a (sorga).  Adapun pembagian bosi itu adalah: fangaruwusi (memperlihatkan kandungan); tumbu (lahir); famatoro doi (memberi nama); famoto (sirkumsisi); falowa (kawin); famadadao omo (membangun rumah); fa’aniha banua (memasuki persekutuan desa); famaoli (menjadi anggota adat); fangai toi (mengambil gelar); fa’amokho (kekayaan); mame’e go banua (menjamu orang se desa) dan mame’e go nori (menjamu orang satu ori, beberapa desa (Dasa Manao et al. 1998:195-196). Inti dari kearifan lokal itu adalah, bahwa sebagai sebuah suku dan juga bangsa setiap orang Nias selalu berinteraksi dan menjadi bahagian komunitas sosial. Dalam hal ini seorang pemimpin sosial mestilah mampu memberikan rezekinya kepada orang lain. Seorang pemimpin adalah tangan di atas bukan di bawah.
Selain itu kearifan lokal dalam konteks pembangunan karakter bangsa juga terdapat dalam kebudayaan Batak Toba. Sebagai satu kesatuan etnik, orang-orang Batak Toba mendiami suatu daerah kebudayaan (culture area) yang disebut dengan Batak Toba.  Mereka disebut orang Toba.  Menurut Vergouwen, masyarakat Batak Toba mengenal beberapa kesatuan tempat yaitu: (1) kampung, lapangan empat persegi dengan halaman yang bagus dan kosong di tengah-tengahnya, (2) huta, “republik” kecil yang diperintah seorang raja, (3) onan, daerah pasar, sebagai satu kesatuan ekonomi, (4) homban (mata air), (5) huta parserahan, kampung induk dan lain-lain (Vergouwen 1964:119-141). Inti ajaran kearifan lokal seperti terurai di atas adalah bahwa kita hidup adalah sebagai makhluk sosial yang nemerlukan dan diperrlukan oleh orang lain baik di peringkat kelompok sosial kecil sampai yang besar, termasuk bernegara.
            Dari contoh-contoh di atas tergambar dengan jelas bahwa kearifan lokal masyarakat Nusantara terkodifikasi dalam adat. Adat masyarakat Nusantara ini memiliki konsep-konsepnya tersendiri di setiap kelompok etnik. Dalam kearifan lokal Nusantara terdapat nilai-nilai untuk membentuk karakter bangsa. Nilai-nilai tersebut mencakup: sistem kepemimpinan, hubungan sosial, hidup secara berkelompok, pentingnya berbagi materi dan pengalaman kepada orang lain, belajar terus dari alam, nilai-nilai gotong royong, bagaimana menghadapi perubahan dan globalisasi, sadar akan makhluk yang mulai dari kecil, dewasa, sampai meninggal, hidup tidak boleh sombong, dan seterusnya.
            Sebagai sebuah bangsa yakni bangsa Indonesia kita berkarakter positif yang dapat digali nilai karakter berbangsa itu dari kearifan lokal (etnik). Di antara karakter bangsa itu adalah: bersama secara sosial dan bergotong royong, menerapkan nilai-nilai kebenaran berdasarkan agama dan adat, memiliki pemimpin, menghormati pemimpin, bertindak secara benar, amanah, menjaga persatuan, tidak menghujat, dan seterusnya. Dengan demikian, maka kearifan lokal ini perlu terus digali dalam rangka menumbuhkan karakter berbangsa dan bernegara.
            Masih banyak lagi kearifan lokal yang masih dapat bertahan dan melekat di kehidupan masyarakat. Sistem pertanian subak di Bali, sistem pelestarian hutan oleh suku-suku pedalaman, sistem pengaturan mencari ikan di pedalaman Papua, sistem penetasan telur ayam dengan menggunakan gabah dan gerabah di Nusa Tenggara, sistem pengelolaan tanah ulayat yang berkelanjutan dan lain-lain terbukti dapat diterapkan sejalan dengan kehidupan modern. Manusia modern seharusnya menyadari bahwa kearifan lokal itu bukanlah merupakan suatu yang ditemukan dan dikembangkan oleh para nenek moyang kita secara instan. Kearifan lokal ini dikembangkan dalam waktu lama dan selaras dengan pelestarian lingkungan.
            Tradisi subak di Bali yang menyalurkan air untuk pertanian, sasi di Maluku dan Papua yang mencegah penangkapan ikan secara berlebihan (Salim, dalam Rohadi,
2007:35), zoning di Papua dan karuhun di tanah Sunda yang mengatur pengelolaan lahan/hutan, dan air (Hadi, 2009: 28-30), serta leuweung di tanah Sunda untuk pengelolaan dan tata guna hutan dan lahan (Abdilah, 2007:2) adalah sebagian contoh kearifan lokal yang sangat ramah lingkungan dan berdampak positif bagi kehidupan warga masyarakat di sekitarnya. Hal tersebut sebenarnya menunjukkan realitas social yang tidak saja membuktikan bentuk-bentuk tanggung jawab etik dan moral, wujud dari keserasian dan keselarasan hubungan antara manusia dengan alam, akan tetapi juga menunjukkan bahwa secara naluriah manusia memiliki kecenderungan untuk selalu memahami lingkungannya, menjalin ikatan yang sedemikian dekat dengan alam; juga merupakan cermin dari masyarakat yang mandiri.
C.    Jenis-Jenis Kearifan Lokal
Jenis kearifan lokal meliputi tata kelola, nilai-nilai adat, serta tata cara dan prosedur, termasuk dalam pemanfaatan ruang (tanah ulayat).
1.      Tata Kelola
Di setiap daerah pada umumnya terdapat suatu sistem kemasyarakatan yang mengatur tentang struktur sosial dan keterkaitan antara kelompok komunitas yang ada, seperti Dalian Natolu di Sumatera Utara, Nagari di Sumatera Barat, Kesultanan dan Kasunanan di Jawa dan Banjar di Bali. Sebagai contoh, masyarakat Toraja memiliki lembaga dan organisasi sosial yang mengelola kehidupan di lingkungan perdesaan. Pada setiap daerah yang memiliki adat besar pada umumnya terdiri dari beberapa kelompok adat yang dikuasai satu badan musyawarah adat yang disebut Kombongan Ada’. Setiap Kombongan Ada’ memiliki beberapa penguasa adat kecil yang disebut Lembang. Di daerah lembang juga masih terdapat penguasa adat wilayah yang disebut Bua’ (Buletin Tata Ruang, 2009).
Selain itu, terdapat pula pembagian tugas dan fungsi dalam suatu kelompok masyarakat adat misalnya Kepatihan (patih), Kauman (santri) di perkampungan sekitar Keraton di Jawa. Kewenangan dalam struktur hirarki sosial juga menjadi bagian dari tata kelola, seperti kewenangan ketua adat dalam pengambilan keputusan, dan aturan sanksi serta denda sosial bagi pelanggar peraturan dan hukum adat tertentu.
2.      Sistem Nilai
Sistem nilai merupakan tata nilai yang dikembangkan oleh suatu komunitas masyarakat tradisional yang mengatur tentang etika penilaian baik-buruk serta benar atau salah. Sebagai contoh, di Bali, terdapat sistem nilai Tri Hita Karana yang mengaitkan dengan nilai-nilai kehidupan masyarakat dalam hubungannya dengan Tuhan, alam semesta, dan manusia. Ketentuan tersebut mengatur hal-hal adat yang harus ditaati, mengenai mana yang baik atau buruk, mana yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, yang jika hal tersebut dilanggar, maka akan ada sanksi adat yang mengaturnya.
3.      Tata Cara atau Prosedur
Beberapa aturan adat di daerah memiliki ketentuan mengenai waktu yang tepat untuk bercocok tanam serta sistem penanggalan tradisional yang dapat memperkirakan kesesuaian musim untuk berbagai kegiatan pertanian, seperti: Pranoto Mongso (jadwal dan ketentuan waktu bercocok tanam berdasarkan kalender tradisional Jawa) di masyarakat Jawa atau sistem Subak di Bali.
Selain itu, di beberapa daerah, seperti Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua umumnya memiliki aturan mengenai penggunaan ruang adat termasuk batas teritori wilayah, penempatan hunian, penyimpanan logistik, aturan pemanfaatan air untuk persawahan atau pertanian hingga bentuk-bentuk rumah tinggal tradisional. Di Tasikmalaya Jawa Barat misalnya, terdapat sebuah kampung budaya yaitu Kampung Naga, yang masyarakatnya sangat teguh memegang tradisi serta falsafah hidupnya, mencakup tata wilayah (pengaturan pemanfaatan lahan), tata wayah (pengaturan waktu pemanfaatan), dan tata lampah (pengaturan perilaku/perbuatan).
4.      Ketentuan Khusus (Kawasan Sensitif, Suci, Bangunan)
Mengenai pelestarian dan perlindungan terhadap kawasan sensitif, seperti di Sumatera Barat, terdapat beberapa jenis kearifan lokal yang berkaitan dengan pengelolaan hutan, tanah, dan air seperti Rimbo Larangan (hutan adat/hutan larangan), Banda Larangan (sungai, anak sungai / kali larangan), Parak (suatu lahan tempat masyarakat berusaha tani dimana terdapat keberagaman jenis tanaman yang dapat dipanen sepanjang waktu secara bergiliran), serta Goro Basamo (kegiatan kerja bersama secara gotong royong untuk kepentingan masyarakat banyak seperti membuat jalan baru, bangunan rumah ibadah, membersihkan tali bandar (sungai), dan menanam tanaman keras).
Terkait dengan bentuk adaptasi dan mitigasi tempat tinggal terhadap iklim, bencana atau ancaman lainnya, masyarakat tradisional juga telah mengembangkan berbagai bentuk arsitektur rumah tradisional seperti rumah adat batak, rumah gadang, rumah joglo, rumahpanjang, rumah toraja, dan rumah adat lainnya yang dapat memberikan perlindungan dan ramah terhadap lingkungan.
D.    Bentuk Kearifan Lokal
Bentuk kearifan lokal dapat dikategorikan ke dalam dua aspek, yaitu kearifan lokal
yang berwujud nyata (tangible) dan yang tidak berwujud (intangible).
1.      Kearifan Lokal yang Berwujud Nyata (Tangible)
Bentuk kearifan lokal yang berwujud nyata meliputi beberapa aspek berikut:
a)      Tekstual
Beberapa jenis kearifan lokal seperti sistem nilai, tata cara, ketentuan khusus yang dituangkan ke dalam bentuk catatan tertulis seperti yang ditemui dalam kitab tradisional primbon, kalender dan prasi (budaya tulis di atas lembaran daun lontar). Sebagai contoh, prasi, secara fisik, terdiri atas bagian tulisan (naskah cerita) dan gambar (gambar ilustrasi) (Suryana, 2010). Tulisan yang digunakan dalam prasi adalah huruf Bali. Gambar yang melengkapi tulisan dibuat dengan gaya wayang dan menggunakan alat tulis/gambar khusus, yaitu sejenis pisau.
Seiring dengan pergantian zaman, fungsi prasi sudah banyak beralih dari fungsi awalnya, yaitu awalnya sebagai naskah cerita yang beralih fungsi menjadi benda koleksi semata. Sekalipun perubahan fungsi lebih mengemuka dalam keberadaan prasi masa kini, penghargaannya sebagai bagian dari bentuk-bentuk kearifan lokal masyarakat Bali tetap dianggap penting.
b)      Bangunan/Arsitektural
Banyak bangunan-bangunan tradisional yang merupakan cerminan dari bentuk kearifan lokal, seperti bangunan rumah rakyat di Bengkulu. Bangunan rumah rakyat ini merupakan bangunan rumah tinggal yang dibangun dan digunakan oleh sebagian besar masyarakat dengan mengacu pada rumah ketua adat. Bangunan vernakular ini mempunyai keunikan karena proses pembangunan yang mengikuti para leluhur, baik dari segi pengetahuan maupun metodenya (Triyadi dkk., 2010). Bangunan vernakular ini terlihat tidak sepenuhnya didukung oleh prinsip dan teori bangunan yang memadai, namun secara teori terbukti mempunyai potensi-potensi lokal karena dibangun melalui proses trial & error, termasuk dalam menyikapi kondisi lingkungannya.
c)      Benda Cagar Budaya/Tradisional (Karya Seni)
Banyak benda-benda cagar budaya yang merupakan salah satu bentuk kearifan lokal, contohnya, keris. Keris merupakan salah satu bentuk warisan budaya yang sangat penting. Meskipun pada saat ini keris sedang menghadapi berbagai dilema dalam pengembangan serta dalam menyumbangkan kebaikan-kebaikan yang terkandung di dalamnya kepada nilai-nilai kemanusiaan di muka Bumi ini, organisasi bidang pendidikan dan kebudayaan atau UNESCO Badan Perserikatan Bangsa Bangsa, mengukuhkan keris Indonesia sebagai karya agung warisan kebudayaan milik seluruh bangsa di dunia. Setidaknya sejak abad ke-9, sebagai sebuah dimensi budaya, Keris tidak hanya berfungsi sebagai alat beladiri, namun sering kali merupakan media ekspresi berkesenian dalam hal konsep, bentuk, dekorasi hingga makna yang terkandung dalam aspek seni dan tradisi teknologi arkeometalurgi. Keris memiliki fungsi sebagai seni simbol jika dilihat dari aspek seni dan merupakan perlambang dari pesan sang empu penciptanya.
Ilustrasi lainnya adalah batik, sebagai salah satu kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Terdapat berbagai macam motif batik yang setiap motif tersebut mempunyai makna tersendiri. Sentuhan seni budaya yang terlukiskan pada batik tersebut bukan hanya lukisan gambar semata, namun memiliki makna dari leluhur terdahulu, seperti pencerminan agama (Hindu atau Budha), nilai-nilai sosial dan budaya yang melekat pada kehidupan masyarakat.
2.      Kearifan Lokal yang Tidak Berwujud (Intangible)
Selain bentuk kearifan lokal yang berwujud, ada juga bentuk kearifan lokal yang tidak berwujud seperti petuah yang disampaikan secara verbal dan turun temurun yang dapat berupa nyanyian dan kidung yang mengandung nilai-nilai ajaran tradisional. Melalui petuah atau bentuk kearifan lokal yang tidak berwujud lainnya, nilai sosial disampaikan secara oral/verbal dari generasi ke generasi.
E.     Peran Kearifan Lokal dalam Tatanan Nasional
Berbicara tentang kearifan lokal, maka kita akan diseret ke sebuah mainstream yang sangat erat hubungannya dengan kebudayaan. Pada sisi ini menjadi varian utama dalam membentuk apa yang dicitakan, yakni penciptaan sebuah tatanan masyarakat yang demokratis yang kemudian membentuk Negara demokrasi yang merupakan konsep (teknis) Negara “pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” yang disampaikan oleh Abraham Lincoln dalam pidato kenegaraan, karena masyarakat sudah terbisaa dengan perbedaan dan bersikap toleran terhadap adanya perbedaan tersebut dan di bangunnya asas kedemokrasian dalam sebuah pemerintahan itu dilatarbelakangi salah satunya keragaman.
Kearifan lokal (Local wisdom) di Indonesia memang sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari masyarakat pribumi mulai sebelum Indonesia merdeka dan berbentuk Negara kesatuan. Hal ini menunjukkan, bahwa kemerdekaan yang sekarang kita rasakan tidak lepas dari kearifan yang sudah hidup sebelumnya contoh di Islam ada Tahlil, para penjajah sangat ketakutan ketika masyarakat pribumi melakukan kegiatan tahlil, srakalan, acara maulid Nabi dan acara-acara keagamaan yang bersifat jam’iyah, karena melalui acara-acara tersebut selain pembacaan kalimah thayibah, juga musyawarah atau sekedar diskusi yang itu akan memunculkan ide-ide kemerdekaan (Hadiwijaya, 2010) .
Upaya Nasional dalam Menjaga Kearifan Lokal
Sebagaimana dalam pendahuluan di atas, bahwa merupakan tugas Negara dalam hal ini yang paling terpenting adalah peran pemerintah dalam menjaga keharmonisan masyarakat yang berkebudayaan yang beragam sehingga keragaman-keberagaman tersebut tidak menjadi alasan untuk menimbulkan perpecahan dalam suatu Negara dan dapat terjaga sekaligus dilestarikan sebagaimana mestinya. Setidaknya ada beberapa upaya Negara dalam menjaga kearifan local, yakni salah satunya dengan membangun museum-museum dan melalui pendidikan, dalam artian, bagaimana pendidikan menjadikan kekuatan kebudayaan itu melalui kerifan lokal masing-masing suku bangsa dapat eksis dan mengalami dinamisasi yang produktif.
Produktifitas kebudayaan yang dimaksudkan adalah transformasi kearifan lokal dalam kanca Internasional, hal ini memungkinkan jika ditopang oleh peran pendidikan dan aktor intelektualnya. Sehingga menjadi tindakan yang keliru kemudian memisahkan antara proses pendidikan dan kebudayaan, karena pada praktisnya pendidikan mempunyai tiga pilan dalam menjalankan kependidikan yakni, sekolah, keluarga dan masyarakat yang ketiganya merupakan wilayah strategis dalam mengembangkan kebudayaan.
Yang Mulai Terlupakan dan terabaikan
Para intelektual dan para cendekiawan kita mulai melupakan mungkin akibat pengaruh modernisasi kearifan lokal yang dinilainya kuno banyak para pemuda Indonesia menganggap hal-hal yang mistis seperti keris, wiridan-wiridan, kejawen dan lain sebagainya sudah dianggap hal yang kurang atau bahkan tidak rasional, padahal sebelum Albert Einstein, seorang ilmuwan terhebat abad ke-20. Cendekiawan yang katanya tak ada tandingannya sepanjang jaman termasuk karena teori "relativitas"-nya belum lahir di dunia pengetahuan, kearifan kejawen sudah memberikan teori, tentang asas pertama alam, dengan ungkapan ana manuk bango buthak, ngendog ing ngenthak-ngenthak yakni sebelum dunia dan seisinya mengisi alam semesta ini, jagad masih berupa susunan tata surya yang kosong. di sana terdapat sekumpulan awan putih yang pijar dan berputar. Awan putih itu jika dilihat tampak seperti burung bangau putih polos. Sekumpulan awan itu memercikkan gumpalan-gumpalan putih kecil, seperti burung bangau yang bertelur dan telurnya tercerai berai, telur-telur itulah yang menjadi bumi, mars, yupiter, dan planet-planet yang lain, sedangkan inti dari gumpalan awan itu manjadi matahari (Hadiwijaya, 2010), itu salah satu contoh saja dari kearifan lokal yang ada di Indonesia yang serat dengan pengetahuan. Hal ini bisa kita lihat berapa persenkah para pelajar muda (jawa) yang bisa menulis dengan tulisan jawa atau bahkan hampir tidak ada?, padahal di tahun 2005 di Belanda sudah membuka fakultas ilmu jawa, mungkin ini menjadi bahan koreksi diri (muhasabah) bagi para pemuda Indonesia . Lebih ironisnya lagi Presiden Indonesia Sosilo Bambang Yudhoyono akan membubarkan Daerah Istemewa Yogyakarta serta menghapus system monarkhi yang menjadi salah satu pusat kearifan lokal di Indonesia .
F.     Kearifan Lokal Dalam Konteks Pembentukan Karakter  Bangsa Indonesia
 Kearifan atau kebijaksanaan adalah sesuatu yang didambakan umat manusia di dunia ini. Kearifan dimulai dari gagasan-gagasan dari individu yang kemudian bertemu dengan gagasan individu lainnya, seterusnya berupa gagasan kolektif. Kearifan lokal ini biasanya dicipta dan dipraktikkan untuk kebaikan komunitas yang menggunakannya. Ada kalanya kearifan lokal itu hanya diketahui dan diamalkan oleh beberapa orang dalam jumlah yang kecil, misalnya desa. Namun ada pula kearifan lokal yang digunakan oleh sekelompok besar masyarakat, misalnya kearifan lokal etnik. 
Kearifan lokal ini juga tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan masyarakat yang mendukungnya. Kearifan lokal, biasanya mencakup semua unsur kebudayaan manusia, yang mencakup: sistem religi, bahasa, ekonomi, teknologi, pendidikan, organisasi sosial, dan kesenian. Kearifan lokal bermula dari ide atau gagasan, yang kemudian diaplikasikan dalam tahapan praktik, dan penciptaan material kebudayaan.  Ia akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, intensitas pergaulan sosial, dan enkulturasi sosiobudaya.  Apalagi dalam dunia yang tidak mengenal batas seperti sekarang ini, kearifan lokal sangat diwarnai oleh wawasan manusia yang memikirkan dan menggunakannya.
Kearifan lokal di peringkat etnik juga bisa bermacam-macam bidang. Misalnya untuk merespons alam sekitar manusia membuat rumah sekalian dengan aspek-aspek spiritual untuk menjaganya. Begitu juga dengan sistem perkawinan, ada yang mendasarkan kepada perkawinan di luar klen (eksogamus), perkawinan untuk kepentingan politik kekuasaan, perkawinan perempuan melamar lelaki atau sebaliknya. Selain itu, kearifan lokal juga tercermina dalam filsafat atau pandangan hidup manusia yang memikirkan dan menggunakannya. Sebagai contoh dalam masyarakat Batak Toba dikenal dengan filsafat dalihan na tolu (DNT), dalam masyarakat Aceh dikenal adat bak petumeuruhom hukom bak syaiah kuala, dalam kebudayaan Minangkabau ada filsafat alam nan takambang menjadi guru, dalam kebudayaan Jawa terdapat filsafat alon-alon waton kelakon dan sederek, dalam masyarakat Sulawesi ada filsafat persaudaraan universal pelagandong, dan lain-lainnya.
Kearifan lokal juga dapat mendukung kepada keberadaan negara bangsa (nation state) tertentu. Bahkan dalam merumuskan sebuah negara bangsa, selalunya diwarnai oleh kearifan-kearifan lokal yang tumbuh dalam masyarakat yang membentuk dan mencita-citakan negara bangsa tersebut. Misalnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang mempunyai dasar negara Pancasila, sebenarnya adalah proses pemikiran para pendiri bangsa ini untuk membuat dasar negara yang diambil dan digali dari nilai-nilai kearifan lokal Nusantara. Kearifan-kearifan lokal ini kemudian dirumuskan menjadi lima sila yang berdasar kepada bentuk “ikatan sosial budaya” biar berbeda-beda tetapi tetap satu (bhinneka tunggal ika).
Kearifan lokal yang dimaksud bisa saja berasal dari kebudayaan etnik, atau pemikiran kebangsaan dari masyarakat Indonesia, dari rentangan masa ke masa. Selanjutnya menjelaskan bagaimana kearifan lokal ini dapat memebentuk karakter bangsa Indoensia, yang seperti kita ketahui memiliki ciri-ciri seperti: suka bergotong royong, religius, nasionalis dan menghargai segala perbedaan dalam konteks persatuan dan kesatuan, pekerja keras, tidak bergaya hidup mewah, dan seterusnya, sebagai karakter yang dicita-citakan bersama, dalam rangka membangun negara bangsa Indonesia.