POLITIK HUKUM
I. Konfigurasi Hukum dan Politik
Hukum adalah sebuah entitas yang sangat kompleks, meliputi kenyataan kemasyarakatan yang majemuk, mempunyai banyak aspek, dimensi dan fase.
Mahfud M.D dan Harman melihat hukum dari sisi yuridis sosio-politis, yaitu menghadirkan sistem politik sebagai variabel yang mempengaruhi rumusan dan pelaksanaan hukum. Berdasrkan penelitiannya, Mahfud berkesimpulan bahwa suatu proses dan konfigurasi politikrexim tertentu akan sangat signifikan pengaruhnya terhadap suatu produk hukum yang kemudian dilahirkannya. Dalam negara yang konfigurasi politiknya demokratis, produk hukumnya berkarakter responsif atau populistik, sedangkan di negara yang konfigurasi politiknya otoriter, produk hukumnya berkarakter ortodoks dan konservatif atau elitis.
Variabel Bebas Variabel Terikat
Relasi konfigurasi politik dan kekuasaan kehakiman menurut Mahfud M.D
Hasil yang kurang lebih sama diperoleh dari penelitian Benny K. Harman terhadap hubungan linier antara konfigurasi politik dan kekuasaan kehakiman. Menurutnya apabila dalam suatu negara diterapkan suatu konfigurasi politik yang demokratis, karakter kekuasaan kehakiman yang dihasilkan oleh konfigurasi politik semacam itu adalah karakter kekuasaan kehakiman yang independen atau otonom. Begitu pula apabila yang diterapkan konfigurasi politik otoriter atau totaliter, yang dihasilkannya adalah karakter kekuasaan kehakiman yang tidak otonom atau tidak bebas.
Variabel Bebas Variabel Terikat
Relasi konfigurasi politik dan kekuasaan kehakiman menurut Benny K Harman
II. Tinjauan Umum Politik Hukum
A. Pengertian Politik Hukum
1. Perspektif Etimologis
Secara etimologis, istilah politik hukum merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari istilah hukum Belanda rechtspolitiek, yang merupakan bentukan dari dua kata recht dan politiek. Dalam bahasa Indonesia kata recht berarti hukum, sedangkan pengertian hukum adalah seperangkat atuiran tingkah laku yang berlaku dalam masyarakat ( Sri Soemantri Martosoewignjo). Adapun dalam kamus bahasa Belanda, kata politiek mengandung arti beleid. Kata beleid sendiri dalam bahasa Indonesia berarti kebijakan (policy).
Dari penjelasan di atas bias dikatakan bahwa politik hukum secara singkat berarti kebijakan hukum. Adapun kebijakan sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti rangkaian konsep dan asas yang mejadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Dengan kata lain, politik hukum adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak dalam bidang hukum.
2. Perspektif Terminologis
Berdasarkan pendapat dari para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa : Politik hukum adalah kebijakan dasar penyelenggara Negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan.
Kata kebijakan disini berkaitan dengan adanya strategi yang sistematis, terinci, dan mendasar. Dalam merumuskan dan menetapkan hukum yang telah dan akan dilakukan, politik hukum menyerahkan otoritas legislasi kepada penyelenggara negara, tetapi dengan tetap memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Dan kesemuanya itu diarahkan dalam rangka mencapai tujuan negara yang dicita-citakan.
Hukum sebagai kaidah atau norma sosial tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dan konkretisasi dari nilai-nilai yang pada suatu saat berlakuk dalam masayarakat. Artinya, hukum sedikit banyak akan selalu mengikuti tata nilai yang menjadi kesadaran bersama masayarakat tertentu dan berlaku secara efektif dalam mengatur kehidupan mereka.
B. Politik Hukum Dalam Perspektif Keilmuan
1. Politik Hukum dan Disiplin Hukum
Proses interplay antara “cara untuk mencapai tujuan” dan “melihat tujuan yang diinginkan” itulah kemudian yang melahirkan politik hukum, dengan catatan bahwa kata politik disini dipahami dengan pengertian policy, bukan dalam pengertian cara untuk memperoleh kekuasaan. Dalam hal ini yang dimaksud adalah kebijakan hukum (legal policy). Dengan kerangka berpikir seperti ini, mengutip Purnadi Purbacaraka, politik hukum dalam disiplin hukum bergerak pada tataran etik dan teknik kegiatan pembentukan hukum dan penemuan hukum.
Berbeda dengan ilmu hukum (dogmatic hukum dan ilmu kenyataan hukum ) yang bersifat teoritis-rasional dan teoritis-empiris serta filsafat hukum yang bersifat teoritis filosofis, politik hukum berbicara pada tataran empiris-fungsional dengan menggunakan metode teleologis-konstruktif. Artinya politik hukumdalam pengertian sebagai etik dan teknik kegiatan pembentukan hukum dan penemuan hukum, lebih diarahkan untuk melihat sejauh mana hukum yang dibentuk memiliki nilai guna dan gerak dalam proses tranformasi masyarakat yang diinginkan. Agar produk hukum itu sesuai dengan apa yang diinginkan, proses yang melibatkan unsur-unsur yang mendukung terjaminnya proses tersebut harus diperhatikan, termasuk dalam hal ini adalah pengaruh ideology atau ajaran-ajaran politik kendatipun kecilnya pengaruh tersebut.
Sebagai sebuah disiplin hukum, politik hukum memberikan landasan akademis terhadap proses pembentukan dan penemuan hukum yang lebih sesuai dengan konteks kesejarahan, situasi, dan kondisi, kultur, nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, dan dengan memperhatikan pula kebutuhan masyarakat terhadap hukum itu sendiri. Melalui proses seperti ini diharapkan produk hukum yang akan diimplementasikan di tengah-tengah masyarakat dapat diterima, dilaksanakan, dan dipatuhi.
2. Politik Hukum Sebagai Kajian Hukum Tata Negara
Hal- hal yang berkaitan dengan politik hukum dalam pengertian teoritis dan praktis (menyangkut makna dan jiwa sebuah tata hukum, dan “teknik hukum” yang meyangkut cara membentuk hukum) kini menjadi kahian disiplin hukum tata negara. Ini sesuai dengan pengertian hukum tata negara yang dikemukakan oleh C. Van Vollenhoven yang mengatakan bahwa hukum tata negara adalah rangkaian peraturan hukum, yang mendirikan badan-badan sebagai alat (organ) organ suatu negara, dengan memberikan wewenang kepada badan-badan itu, dan yang membagi-bagi pekerjaan pemerintahh kepada banyak alat negara, baik yang tinggi maupun rendah kedudukannya. Bila dikaitkan dengan sebuiah sistem hukum, hukum tata negara merupakan pondasi. Dasar atau muara berlakunya cabang dan ranting hukum yang lain.
Van Wijk dan le Roy sama-sama menempatkan hukum tata negara sebagai hukum sentral bagi pelaksanaan hukum kenegaraan. Namun, perlu diketahui bahwa pembagian itu baru berbicara tentang produk-produk hukum yang menjadi bagian hukum tata negara, bukan berbicara tentang produk-produk hukum yang menjadi bagian hukum tata negara, bukan berbicara proses hukum dan politik pembentukan produk-produk hukum tersebut. Pada bagian inilah sebenarnya studi politik hukum menjadi sangat penting untuk dicermati, karena berkaitan dengan cara bekerjanya badan-badan negara yang berwenang menetapkan politik hukum sebuah negara.
C. Ruang Lingkup dan Manfaat Ilmu Politik Hukum
Politik hukum menganut prinsip double movement, yaitu selain sebagai kerangka piker merumuskan kebijakan dalam bidang hukum (legal policy) oleh lembaga-lembaga negara yang berwenang,ia juga dipakai untuk mengkritisi produk-produk hukum yang telah diundangkan berdasarkan legal policy di atas.
Ruang lingkup atau wilayah kajian politik hukum sebagai berikut :
1) Proses penggalian nilai-nilai dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat oleh penyelenggara negara yang berwenang merumuskan politik hukum.
2) Proses perdebatan dan perumusan nilai-nilai dan aspirasi tersebut ke dalam bentuk sebuah rancangan peraturan perundang-undangan oleh penyelenggara negara yang berwenang merumuskan politik hukum.
3) Penyelenggara negara yang berwenang merumuskan dan menetapkan politik hukum
4) Peraturan perundang-undangan yang memuat politik hukum
5) Faktor-faktor yang mempengaruhi dan menentukan suatu politik hukum, baik yang akan, sedang , dan telah ditetapkan.
6) Pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang merupakan implementasi dari politik hukumm suatuu negara.
Enam masalah itulah yang seterusnya akan menjadi wilayah telaah dari politik hukum. Dalam hal ini, politik hukum secara umum bermanfaat untuk mengetahui bagaimana proses-proses yang tercakup dalam enam wilayah kajian itu dapat menghasilkan sebuah legal policy yang sesuai dengan kebutuhan dan rasa keadilan masyarakat. Enam wilayah itu tentu saja bersifat integral satu sama lain.
III. Politik Hukum Nasional
A. Pengertian dan Tujuan Politik Hukum Nasional
1. Pengertian Politik Hukum Nasional
Politik hukum nasional adalah kebijakan dasar penyelenggara negara (Republik Indonesia) dalam bidang hukum yang akan, sedang, dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan. Dari pengertian tersebut ada lima agenda yang ditekankan dalam politik hukum nasional, yaitu :
1) Masalah kebijakan dasar yang meliputi konsep dan letak
2) Penyelenggara negara membentuk kebijakan dasar tersebut
3) Materi hukum yang meliputi hukum yang akan, sedang dan telah berlaku
4) Proses pembentukan hukum
5) Tujuan politik hukum nasional
2. Tujuan Politik Hukum Nasional
Tujuan politik hukum nasional meliputi dua aspek yang saling berkaitan yaitu :
1) Sebagai suatu alat (tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan suatu sistem hukum nasional yang dikehendaki
2) Dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang lebih besar.
a. Sistem Hukum Nasional
Sistem adalah sehimpunan unsur yang melakukan suatu kegiatan atau menyusun skema atau tata cara melakukan sesuatu kegiatan pemrosesan, untuk mencapai sesuatu atau beberapa tujuan. Adapun hukum nasional adalah hukum atau peraturan perundang-undangan yang didasarkan kepada landasan ideologi dan konstitusional negara, yaitu Pancasila dan UUD 1945 atau hukum yang dibangun di atas kreativitas atau asas yang didasarkan atas cita rasa dan rekayasa bangsa.
Bila merujuk dari penjelasan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa sistem hukum nasional adalah sebuah sistem hukum (meliputi hukum materiil dan formil; pokok dan sektoral) yang dibangun berdasarkan ideologi negara Pancasila dan UUD 1945, serta berlaku di seluruh Indonesia.
Dalam hal ini, Arief Sidharta mengusulkan tatanan hukum nasional Indonesia harus mengandung ciri-ciri :
1) Berwawasan kebangsaan dan berwawasan nusantara.
2) Mampu mengakomodasi kesadaran hukum kelompok etnis kedaerahan dan keyakinan keagaman.
3) Sejauh mungkin berbentuk tertulis dan terunifikasi.
4) Bersifat rasional yang mencakup rasionalitas efisiensi, rasionalitas kewajaran, rasionalitas kaidah, dan rasionalitas nilai.
5) Aturan prosedural yang menjamin transparansi, yang memungkinkan kajian rasional terhadap proses pengambilan putusan oleh pemerintah.
6) Responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat.
b. Hukum Demokratis dan Responsif
Politik hukum nasional (mengutip Philipe Nonet dan Philip Selznick dalam bukunya Law and Society in Transition; Toward Law) bertujuan menciptakan sebuah sistem hukum nasional yang rasional, trnasparan, demokratis, otonom dan responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat, bukan sebuah sistem hukum yang bersifat menindas, ortodoks, dan reduksionistik.
1) Hukum Otonom dan Hukum Menindas
Gagasan hukum menindas mengindikasikan bahwa setiap hukum merupakan “keadilan yang beku” dan mempunyai potensi represif. Dalam hubungannya dengan kekuasaan, lebih sistematis hukum menindas mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a) Pranata-pranata hukum seara langsung disediakan bagi kekuasaan politik; hukum diidentifiikasikan dengan negara dan tunduk pada kepentingan negara.
b) Kelestarian kekuasaan adalah tugas dari penegak hukum.
c) Alat-alat pengendalian khusus, seperti polisi menjadi pusat kekuasaan yang bebas.
d) Pelembagaan keadilan kelas.
No. Perihal Tipe Menindas Ttipe Otonom
1 Tujuan Hukum Ketertiban Kesahan
2 Legitimasi Pertahanan Sosial dan Raison d’etat Menegakkan Prosedur
3 Peraturan Kasar dan terperinci; tetapi hanya mengikat pembuat peraturan secara lemah Sangat terurai; mengikat pembuat maupun mereka yang diatur
4 Panalaran Ad hoc; sesuai keperluan partikularistik Mengikat diri secara ketat kepada hukum; peka terhadap formalisme dan legalisme
5 Diskresi Merata; oportunistik Dibatasi oleh peraturan-peraturan; pendelegasian sangat terbatas
6 Pemaksaan Luas sekali; pembatasannya lemah Dikontrol oleh pembatasan-pembatasan hukum
7 Moralitas Moralitas komunal; moralitas hukum; moralitas pemaksaan Moralitas kelembagaan, yaitu diikat oleh pemikiran tentang integritas dari proses hukum
8 Kaitan Politik Hukum ditundukkan kepada politik kekuasaan Hukum bebas dari politik; pemisahan kekuasaan
9 Harapan Terhadap Kepatuhan Tidak bersyarat; ketidakpatuhan dengan begitu saja dianggap menyimpang Bertolak dari peraturan yang sah, yaitu menguji kesahan UU, peraturan
10 Partisipasi Tunduk dan patuh; kritik dianggap tidak loyal Dibatasi oleh prosedur yang ada; munculnya kritik hukum
2) Hukum Ortodoks dan Hukum Responsif
Dalam strategi pembangunan hukum ortodoks, peranan lembaga-lembaga negara sangat dominan dan monopolis dalam menentukan arah pembangunan hukum. Sebaliknya, pada strategi pembangunan hukum responsif yang mempunyai peranan besar adalah lembaga peradilan dan partisipasi luas kelompok-kelompok sosial atau indivvidu-individu dalam masyarakat.
3) Hukum Imperatif dan Fakultatif
Hukum imperatif adalah kaidah-kaidah hukum yang secara a priori harus ditaati. Ia mempunyai kekuatan untuk memaksa dan mengikat secara mutlak. Sedangkan hukum fakultatif tidaklah secara a priori harus ditaati atau tidak a priori untuk dipatuhi, melainkan sekedar melengkapui, subsidair atau dispositif. Dalam hukum fakultatif masih terdapat ruang pilihan untuk melakukan yang lain ataupun sama sekali tidak melakukannya.
c. Cita-Cita Bangsa Indonesia
Idealitas sistem hukum nasional itu pada dasarnya adalah dalam rangka membantu terwujudnya keadilan sosial dan kemakmuran masyarakat atau sebagaimana disebutkan dalam pembukaan UUD 1945 :
1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
2) Memajukan kesejahteraan umum
3) Mencerdaskan kehidupan bangsa
4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
B. Karakteristik politik Hukum Nasional
Karakteristik yang dimaksud adalah kebijakan atau arah yang akan dituju oleh politik hukum nasional dalam masalah pembangunan hukum nasional, sebagai bentuk dari kristalisasi kehendak-kehendak rakyat.
Karakteriistik sistem hukum nasional yang termuat pada butir ke-2 TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN adalah :
1) Sistem hukum nasional yang dibentuk hendaknya bersifat menyeluruh dan terpadu.
2) Sistem hukum nasional yang dibentuk tetap mengakui dan menghormati eksistensi hukum agama dan hukum adat.
3) Melakukan pembaruan terhadap warisan hukum kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif dan tidak sesuai dengan tujuan reformasi.
Identitas Buku
Judul : Dasar-Dasar Politik Hukum
Pengarang : Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari
Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Tahun : 2003
Jumlah Hal. : 127
Hukum adalah sebuah entitas yang sangat kompleks, meliputi kenyataan kemasyarakatan yang majemuk, mempunyai banyak aspek, dimensi dan fase.
Mahfud M.D dan Harman melihat hukum dari sisi yuridis sosio-politis, yaitu menghadirkan sistem politik sebagai variabel yang mempengaruhi rumusan dan pelaksanaan hukum. Berdasrkan penelitiannya, Mahfud berkesimpulan bahwa suatu proses dan konfigurasi politikrexim tertentu akan sangat signifikan pengaruhnya terhadap suatu produk hukum yang kemudian dilahirkannya. Dalam negara yang konfigurasi politiknya demokratis, produk hukumnya berkarakter responsif atau populistik, sedangkan di negara yang konfigurasi politiknya otoriter, produk hukumnya berkarakter ortodoks dan konservatif atau elitis.
Variabel Bebas Variabel Terikat
Relasi konfigurasi politik dan kekuasaan kehakiman menurut Mahfud M.D
Hasil yang kurang lebih sama diperoleh dari penelitian Benny K. Harman terhadap hubungan linier antara konfigurasi politik dan kekuasaan kehakiman. Menurutnya apabila dalam suatu negara diterapkan suatu konfigurasi politik yang demokratis, karakter kekuasaan kehakiman yang dihasilkan oleh konfigurasi politik semacam itu adalah karakter kekuasaan kehakiman yang independen atau otonom. Begitu pula apabila yang diterapkan konfigurasi politik otoriter atau totaliter, yang dihasilkannya adalah karakter kekuasaan kehakiman yang tidak otonom atau tidak bebas.
Variabel Bebas Variabel Terikat
Relasi konfigurasi politik dan kekuasaan kehakiman menurut Benny K Harman
II. Tinjauan Umum Politik Hukum
A. Pengertian Politik Hukum
1. Perspektif Etimologis
Secara etimologis, istilah politik hukum merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari istilah hukum Belanda rechtspolitiek, yang merupakan bentukan dari dua kata recht dan politiek. Dalam bahasa Indonesia kata recht berarti hukum, sedangkan pengertian hukum adalah seperangkat atuiran tingkah laku yang berlaku dalam masyarakat ( Sri Soemantri Martosoewignjo). Adapun dalam kamus bahasa Belanda, kata politiek mengandung arti beleid. Kata beleid sendiri dalam bahasa Indonesia berarti kebijakan (policy).
Dari penjelasan di atas bias dikatakan bahwa politik hukum secara singkat berarti kebijakan hukum. Adapun kebijakan sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti rangkaian konsep dan asas yang mejadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Dengan kata lain, politik hukum adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak dalam bidang hukum.
2. Perspektif Terminologis
Berdasarkan pendapat dari para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa : Politik hukum adalah kebijakan dasar penyelenggara Negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan.
Kata kebijakan disini berkaitan dengan adanya strategi yang sistematis, terinci, dan mendasar. Dalam merumuskan dan menetapkan hukum yang telah dan akan dilakukan, politik hukum menyerahkan otoritas legislasi kepada penyelenggara negara, tetapi dengan tetap memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Dan kesemuanya itu diarahkan dalam rangka mencapai tujuan negara yang dicita-citakan.
Hukum sebagai kaidah atau norma sosial tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dan konkretisasi dari nilai-nilai yang pada suatu saat berlakuk dalam masayarakat. Artinya, hukum sedikit banyak akan selalu mengikuti tata nilai yang menjadi kesadaran bersama masayarakat tertentu dan berlaku secara efektif dalam mengatur kehidupan mereka.
B. Politik Hukum Dalam Perspektif Keilmuan
1. Politik Hukum dan Disiplin Hukum
Proses interplay antara “cara untuk mencapai tujuan” dan “melihat tujuan yang diinginkan” itulah kemudian yang melahirkan politik hukum, dengan catatan bahwa kata politik disini dipahami dengan pengertian policy, bukan dalam pengertian cara untuk memperoleh kekuasaan. Dalam hal ini yang dimaksud adalah kebijakan hukum (legal policy). Dengan kerangka berpikir seperti ini, mengutip Purnadi Purbacaraka, politik hukum dalam disiplin hukum bergerak pada tataran etik dan teknik kegiatan pembentukan hukum dan penemuan hukum.
Berbeda dengan ilmu hukum (dogmatic hukum dan ilmu kenyataan hukum ) yang bersifat teoritis-rasional dan teoritis-empiris serta filsafat hukum yang bersifat teoritis filosofis, politik hukum berbicara pada tataran empiris-fungsional dengan menggunakan metode teleologis-konstruktif. Artinya politik hukumdalam pengertian sebagai etik dan teknik kegiatan pembentukan hukum dan penemuan hukum, lebih diarahkan untuk melihat sejauh mana hukum yang dibentuk memiliki nilai guna dan gerak dalam proses tranformasi masyarakat yang diinginkan. Agar produk hukum itu sesuai dengan apa yang diinginkan, proses yang melibatkan unsur-unsur yang mendukung terjaminnya proses tersebut harus diperhatikan, termasuk dalam hal ini adalah pengaruh ideology atau ajaran-ajaran politik kendatipun kecilnya pengaruh tersebut.
Sebagai sebuah disiplin hukum, politik hukum memberikan landasan akademis terhadap proses pembentukan dan penemuan hukum yang lebih sesuai dengan konteks kesejarahan, situasi, dan kondisi, kultur, nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, dan dengan memperhatikan pula kebutuhan masyarakat terhadap hukum itu sendiri. Melalui proses seperti ini diharapkan produk hukum yang akan diimplementasikan di tengah-tengah masyarakat dapat diterima, dilaksanakan, dan dipatuhi.
2. Politik Hukum Sebagai Kajian Hukum Tata Negara
Hal- hal yang berkaitan dengan politik hukum dalam pengertian teoritis dan praktis (menyangkut makna dan jiwa sebuah tata hukum, dan “teknik hukum” yang meyangkut cara membentuk hukum) kini menjadi kahian disiplin hukum tata negara. Ini sesuai dengan pengertian hukum tata negara yang dikemukakan oleh C. Van Vollenhoven yang mengatakan bahwa hukum tata negara adalah rangkaian peraturan hukum, yang mendirikan badan-badan sebagai alat (organ) organ suatu negara, dengan memberikan wewenang kepada badan-badan itu, dan yang membagi-bagi pekerjaan pemerintahh kepada banyak alat negara, baik yang tinggi maupun rendah kedudukannya. Bila dikaitkan dengan sebuiah sistem hukum, hukum tata negara merupakan pondasi. Dasar atau muara berlakunya cabang dan ranting hukum yang lain.
Van Wijk dan le Roy sama-sama menempatkan hukum tata negara sebagai hukum sentral bagi pelaksanaan hukum kenegaraan. Namun, perlu diketahui bahwa pembagian itu baru berbicara tentang produk-produk hukum yang menjadi bagian hukum tata negara, bukan berbicara tentang produk-produk hukum yang menjadi bagian hukum tata negara, bukan berbicara proses hukum dan politik pembentukan produk-produk hukum tersebut. Pada bagian inilah sebenarnya studi politik hukum menjadi sangat penting untuk dicermati, karena berkaitan dengan cara bekerjanya badan-badan negara yang berwenang menetapkan politik hukum sebuah negara.
C. Ruang Lingkup dan Manfaat Ilmu Politik Hukum
Politik hukum menganut prinsip double movement, yaitu selain sebagai kerangka piker merumuskan kebijakan dalam bidang hukum (legal policy) oleh lembaga-lembaga negara yang berwenang,ia juga dipakai untuk mengkritisi produk-produk hukum yang telah diundangkan berdasarkan legal policy di atas.
Ruang lingkup atau wilayah kajian politik hukum sebagai berikut :
1) Proses penggalian nilai-nilai dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat oleh penyelenggara negara yang berwenang merumuskan politik hukum.
2) Proses perdebatan dan perumusan nilai-nilai dan aspirasi tersebut ke dalam bentuk sebuah rancangan peraturan perundang-undangan oleh penyelenggara negara yang berwenang merumuskan politik hukum.
3) Penyelenggara negara yang berwenang merumuskan dan menetapkan politik hukum
4) Peraturan perundang-undangan yang memuat politik hukum
5) Faktor-faktor yang mempengaruhi dan menentukan suatu politik hukum, baik yang akan, sedang , dan telah ditetapkan.
6) Pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang merupakan implementasi dari politik hukumm suatuu negara.
Enam masalah itulah yang seterusnya akan menjadi wilayah telaah dari politik hukum. Dalam hal ini, politik hukum secara umum bermanfaat untuk mengetahui bagaimana proses-proses yang tercakup dalam enam wilayah kajian itu dapat menghasilkan sebuah legal policy yang sesuai dengan kebutuhan dan rasa keadilan masyarakat. Enam wilayah itu tentu saja bersifat integral satu sama lain.
III. Politik Hukum Nasional
A. Pengertian dan Tujuan Politik Hukum Nasional
1. Pengertian Politik Hukum Nasional
Politik hukum nasional adalah kebijakan dasar penyelenggara negara (Republik Indonesia) dalam bidang hukum yang akan, sedang, dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan. Dari pengertian tersebut ada lima agenda yang ditekankan dalam politik hukum nasional, yaitu :
1) Masalah kebijakan dasar yang meliputi konsep dan letak
2) Penyelenggara negara membentuk kebijakan dasar tersebut
3) Materi hukum yang meliputi hukum yang akan, sedang dan telah berlaku
4) Proses pembentukan hukum
5) Tujuan politik hukum nasional
2. Tujuan Politik Hukum Nasional
Tujuan politik hukum nasional meliputi dua aspek yang saling berkaitan yaitu :
1) Sebagai suatu alat (tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan suatu sistem hukum nasional yang dikehendaki
2) Dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang lebih besar.
a. Sistem Hukum Nasional
Sistem adalah sehimpunan unsur yang melakukan suatu kegiatan atau menyusun skema atau tata cara melakukan sesuatu kegiatan pemrosesan, untuk mencapai sesuatu atau beberapa tujuan. Adapun hukum nasional adalah hukum atau peraturan perundang-undangan yang didasarkan kepada landasan ideologi dan konstitusional negara, yaitu Pancasila dan UUD 1945 atau hukum yang dibangun di atas kreativitas atau asas yang didasarkan atas cita rasa dan rekayasa bangsa.
Bila merujuk dari penjelasan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa sistem hukum nasional adalah sebuah sistem hukum (meliputi hukum materiil dan formil; pokok dan sektoral) yang dibangun berdasarkan ideologi negara Pancasila dan UUD 1945, serta berlaku di seluruh Indonesia.
Dalam hal ini, Arief Sidharta mengusulkan tatanan hukum nasional Indonesia harus mengandung ciri-ciri :
1) Berwawasan kebangsaan dan berwawasan nusantara.
2) Mampu mengakomodasi kesadaran hukum kelompok etnis kedaerahan dan keyakinan keagaman.
3) Sejauh mungkin berbentuk tertulis dan terunifikasi.
4) Bersifat rasional yang mencakup rasionalitas efisiensi, rasionalitas kewajaran, rasionalitas kaidah, dan rasionalitas nilai.
5) Aturan prosedural yang menjamin transparansi, yang memungkinkan kajian rasional terhadap proses pengambilan putusan oleh pemerintah.
6) Responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat.
b. Hukum Demokratis dan Responsif
Politik hukum nasional (mengutip Philipe Nonet dan Philip Selznick dalam bukunya Law and Society in Transition; Toward Law) bertujuan menciptakan sebuah sistem hukum nasional yang rasional, trnasparan, demokratis, otonom dan responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat, bukan sebuah sistem hukum yang bersifat menindas, ortodoks, dan reduksionistik.
1) Hukum Otonom dan Hukum Menindas
Gagasan hukum menindas mengindikasikan bahwa setiap hukum merupakan “keadilan yang beku” dan mempunyai potensi represif. Dalam hubungannya dengan kekuasaan, lebih sistematis hukum menindas mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a) Pranata-pranata hukum seara langsung disediakan bagi kekuasaan politik; hukum diidentifiikasikan dengan negara dan tunduk pada kepentingan negara.
b) Kelestarian kekuasaan adalah tugas dari penegak hukum.
c) Alat-alat pengendalian khusus, seperti polisi menjadi pusat kekuasaan yang bebas.
d) Pelembagaan keadilan kelas.
No. Perihal Tipe Menindas Ttipe Otonom
1 Tujuan Hukum Ketertiban Kesahan
2 Legitimasi Pertahanan Sosial dan Raison d’etat Menegakkan Prosedur
3 Peraturan Kasar dan terperinci; tetapi hanya mengikat pembuat peraturan secara lemah Sangat terurai; mengikat pembuat maupun mereka yang diatur
4 Panalaran Ad hoc; sesuai keperluan partikularistik Mengikat diri secara ketat kepada hukum; peka terhadap formalisme dan legalisme
5 Diskresi Merata; oportunistik Dibatasi oleh peraturan-peraturan; pendelegasian sangat terbatas
6 Pemaksaan Luas sekali; pembatasannya lemah Dikontrol oleh pembatasan-pembatasan hukum
7 Moralitas Moralitas komunal; moralitas hukum; moralitas pemaksaan Moralitas kelembagaan, yaitu diikat oleh pemikiran tentang integritas dari proses hukum
8 Kaitan Politik Hukum ditundukkan kepada politik kekuasaan Hukum bebas dari politik; pemisahan kekuasaan
9 Harapan Terhadap Kepatuhan Tidak bersyarat; ketidakpatuhan dengan begitu saja dianggap menyimpang Bertolak dari peraturan yang sah, yaitu menguji kesahan UU, peraturan
10 Partisipasi Tunduk dan patuh; kritik dianggap tidak loyal Dibatasi oleh prosedur yang ada; munculnya kritik hukum
2) Hukum Ortodoks dan Hukum Responsif
Dalam strategi pembangunan hukum ortodoks, peranan lembaga-lembaga negara sangat dominan dan monopolis dalam menentukan arah pembangunan hukum. Sebaliknya, pada strategi pembangunan hukum responsif yang mempunyai peranan besar adalah lembaga peradilan dan partisipasi luas kelompok-kelompok sosial atau indivvidu-individu dalam masyarakat.
3) Hukum Imperatif dan Fakultatif
Hukum imperatif adalah kaidah-kaidah hukum yang secara a priori harus ditaati. Ia mempunyai kekuatan untuk memaksa dan mengikat secara mutlak. Sedangkan hukum fakultatif tidaklah secara a priori harus ditaati atau tidak a priori untuk dipatuhi, melainkan sekedar melengkapui, subsidair atau dispositif. Dalam hukum fakultatif masih terdapat ruang pilihan untuk melakukan yang lain ataupun sama sekali tidak melakukannya.
c. Cita-Cita Bangsa Indonesia
Idealitas sistem hukum nasional itu pada dasarnya adalah dalam rangka membantu terwujudnya keadilan sosial dan kemakmuran masyarakat atau sebagaimana disebutkan dalam pembukaan UUD 1945 :
1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
2) Memajukan kesejahteraan umum
3) Mencerdaskan kehidupan bangsa
4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
B. Karakteristik politik Hukum Nasional
Karakteristik yang dimaksud adalah kebijakan atau arah yang akan dituju oleh politik hukum nasional dalam masalah pembangunan hukum nasional, sebagai bentuk dari kristalisasi kehendak-kehendak rakyat.
Karakteriistik sistem hukum nasional yang termuat pada butir ke-2 TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN adalah :
1) Sistem hukum nasional yang dibentuk hendaknya bersifat menyeluruh dan terpadu.
2) Sistem hukum nasional yang dibentuk tetap mengakui dan menghormati eksistensi hukum agama dan hukum adat.
3) Melakukan pembaruan terhadap warisan hukum kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif dan tidak sesuai dengan tujuan reformasi.
Identitas Buku
Judul : Dasar-Dasar Politik Hukum
Pengarang : Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari
Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Tahun : 2003
Jumlah Hal. : 127
TUGAS KULIAH MK : Surat Permohonan Pengujian UU BHP
Jakarta, 28 Maret 2012
Kepada Yang
Mulia
KETUA
MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK
INDONESIA
Jl. Medan
Merdeka Barat No.6
Jakarta
10110
HAL : PERMOHONAN
PENGUJIAN PASAL 41 AYAT (7) DAN PASAL (8) UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9
TAHUN 2009 TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN (BHP) TERHADAP UNDANG –
UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945.
Dengan hormat,
Saya yang bertanda-tangan di bawah ini :
Nama :
Dedi Triyanto
Tempat/tanggal lahir :
Sragen, 28 Februari 1977
Agama :
Islam
Pekerjaan :
Swasta
Kewarganegaraa :
Indonesia
Alamat lengkap :
Gemolong, Sragen, Jawa Tengah
Selanjutnya disebut sebagai “Pemohon”.
Pemohon dengan ini
mengajukan Permohonan Pengujian Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebelum melanjutkan pada uraian
tentang permohonan beserta alasan-alasannya, Pemohon ingin lebih dahulu
menguraikan tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi dan ”legal standing” Pemohon
sebagai berikut:
- Kewenangan Mahkamah Konstitusi
1.
Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi (MK)
melakukan pengujian terhadap Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU No. 9 Tahun 2009).
2.
Merujuk pada ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945
juncto Pasal 10 ayat (1) huruf (a) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (UU MK),
bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian
undang-undang terhadap Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945).
Pasal 24 C
ayat (1) UUD 1945 antara lain menyatakan :
“Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar,…”
Pasal 10
ayat (1) huruf a UU MK antara lain menyatakan :
“Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk”:
a. menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, …”
3.
Selain itu, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengatur bahwa secara
hierarkis kedudukan UUD 1945 lebih tinggi dari undang-undang. Oleh karena itu,
setiap ketentuan undang-undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Jika
terdapat ketentuan dalam undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945, maka
ketentuan tersebut dapat dimohonkan untuk diuji melalui mekanisme pengujian
undang-undang.
Berdasarkan
hal-hal tersebut di atas, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa
dan memutus permohonan pengujian Undang-Undang ini.
- Kedudukan Hukum (legal standing) Pemohon
- Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU MK mengatur bahwa :
a. “Pemohon
adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: Perorangan warga negara
Indonesia;
b. ..Kesatuan
masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
undang-undang;
c. Badan hukum
publik atau privat; atau
d. Lembaga
negara.
Selanjutnya penjelasan Pasal 51 ayat
(1) menyatakan :
Yang
dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bahwa
Pemohon adalah perorangan Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud Pasal 52
ayat (1) huruf a UU MK yang hak-hak konstitusionalnya telah dirugikan
oleh berlakunya Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009
tentang Badan Hukum Pendidikan yang mengatur tentang pembiayaan badan hukum pendidikan
yang harus ditanggung oleh pemerintah beserta masyarakat, dalam hal ini adalah
peserta didik.
Bahwa
merujuk kepada Putusan Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/ 2005 tanggal
31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 dan
putusan-putusan selanjutnya, berpendirian bahwa kerugian hak dan/ atau
kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus
memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
1.
Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon
yang diberikan oleh UUD 1945.
2.
Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh
Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan
pengujian.
3.
Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi.
4.
Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband)
antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan
pengujian.
5.
Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya
permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan
atau tidak lagi terjadi.
Dengan
demikian maka ada lima syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam menguji
undang-undang terthadap Undang-Undang Dasar. Syarat pertama adalah
kualifikasi Pemohon sebagai warga negara Republik Indonesia, untuk bertindak
sebagai pemohon sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK. Syarat
kedua dengan berlakunya suatu undang-undang hak dan/atau kewenangan konstitusional
pemohon dirugikan. Syarat ketiga, kerugian konstitusional tersebut
bersifat spesifik. Syarat keempat kerugian tersebut timbul akibat
berlakunya undang-undang yang dimohon. Syarat kelima, kerugian
konstitusional tersebut tidak akan terjadi lagi kalau permohonan ini
dikabulkan.
Bahwa uraian
di atas membuktikan bahwa Pemohon (Perseorangan Warga Negara Indonesia)
memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai
Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang ini.
Bahwa
berdasarkan kualifikasi dan syarat tersebut di atas, maka
Pemohon sebagai Warga Negara Indonesia, benar-benar telah dirugikan
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya akibat berlakunya Pasal 41 ayat (7)
dan ayat (8) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan
(BHP) karena hal tersebut dapat menimbulkan diskrimanasi dalam memperoleh
pendidikan yang sama. Akhirnya, apabila permohonan pengujian terhadap ketentuan
Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan
Hukum Pendidikan (BHP) dikabulkan, maka hak dan/atau kewenangan
konstitusional Pemohon tidak lagi dirugikan. Dengan demikian,
syarat kedudukan hukum (legal standing) Pemohon telah sesuai dan
memenuhi ketentuan yang berlaku.
- ALASAN-ALASAN PEMOHON MENGAJUKAN PERMOHONAN PENGUJIAN PASAL 41 AYAT (7) DAN AYAT (8) UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN (BHP)
- Pemohon Berhak Atas Pendidikan Yang Layak Dan Setara Tanpa Adannnya Diskriminasi
1.
Bahwa sejak dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang
Dasar Tahun 1945, telah terjadi perubahan yang mendasar dalam sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia. Perubahan pokok dilakukan pada
diakuinya hak-hak asasi manusia, termasuk adanya kesamaan di dalam memperoleh
pendidikan yang sama.
2.
Bahwa sesuai dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 setiap
orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa
pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu.
3.
Bahwa secara yuridis Undang-Undang Dasar Tahun 1945
memberikan jaminan semua warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak
dan setara sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar
Tahun 1945.
4.
Bahwa bunyi Pasal 31 ayat (2) menyebutkaan bahwa
setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya. Maka sesuai dengan pasal tersebut pemerintah wajib membiayai
pendidikan dasar dari setiap warga negara.
Norma
konstitusi di atas mencerminkan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang berlaku
bagi seluruh manusia secara universal. Dalam kualifikasi yang sama, setiap
manusia, termasuk di dalamnya Pemohon. Namun pada kenyataannnya ada warga
negara yang tidak dapat memperoleh pendidikan yang layak seperti yang dijamin
dalam konstitusi negara Indonesia.
- Pasal 41 Ayat (7) Dan Ayat (8) Menimbulkan Beban Biaya Pendidikan Yang Dapat Memberatkan Para Peserta Didik
1.
Bahwa menurut UU No. 9 Tahun 2009, Pasal 41 ayat (7) menyatakan
bahwa Peserta didik harus ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan
harus menanggung biaya tersebut sesuai dengan kemampuan peserta didik, orang
tua, atau pihak yang bertanggung jawab membiayainya.
2.
Bahwa menurut UU No. 9 Tahun 2009, Pasal 41 ayat (8)
menyatakan Biaya penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
yang ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan menengah
berstandar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan pada
BHPP atau BHPPD paling banyak 1/3 (sepertiga) dari biaya operasional.
Bahwa dengan
kenyataan seperti itu, Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) UU No. 9 Tahun 2009 pada
akhirnya dapat menimbulkan beban pada peserta dalam hal pendanaan pada Badan
Hukum Pendidikan. Hal itu disebabkan karena biaya penyelenggaraan dari Badan
Hukum Pendidikan tersebut harus ikut ditanggung oleh peserta didik, orang tua,
ata pihak yang bertanggung jawab membiayainya. Dengan demikian hal tersebut
menimbulkan akibat bahwa beban pembiayaan sekolah harus ditanggung oleh peserta
didik yang seharusnya biaya tersebut harus ditanggung oleh pemerintah. Karena
pemerintah harus berkewajiban dan menjamin pendidikan dasar 9 tahun yang layak
bagoi setiap warga negara. Hal tersebut bisa dikatakan sebagai lepas tangan
dari tanggung jawab pemerintah dalam hal pembiayaan pendidikan dari pemerintah
kepada masyarakat.
Selain itu
bunyi pasal 41 ayat (7) Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 menyatakan bahwa peserta
didik harus menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan
kemampuannya masing-masing. Hal tersebut dapat menimbulkan penafsiran yang
berbeda didalam badan hukum pendidikan mengenai besarnya biaya pendidikan yang
harus ikut ditanggunng oleh peserta didik. Dengan demikian sekolah yang telah
menjadi Badan Hukum Pendidikan dapat menentukan besar kecilnya biaya pendidikan
kepada peserta didik sesuai dengan kewenangan sekolah tanpa adanya aturan yang
mengatur tentang hal tersebut. Bila hal tersebut dilaksanakan maka masyarakat
yang tidak mampu atau masyarakat menengah ke bawah kemungkinan tidak akan mampu
membayar biaya pendidikan yang telah ditentukan oleh sekolah tersebuut sehinga
peserta didik mengalami putus sekolah dan tidak dapat menikmati pendidikan yang
layak dari pemerintah.
- POKOK-POKOK PERMOHONAN
Bahwa Pemohon mempunyai legal
standing dalam perkara pengajuan permohonan ini;
1.
Bahwa Pemohon telah mengalami kerugian konstitusional,
karena Pemohon sebagai orang tua didik telah kehilangan hak atas pendidikan
yang layak bagi putra-putrinya sebagaimana Pasal 31 ayat (1) UUD 1945.
2.
Bahwa Pemohon merasa menjadi korban dari ketidakadilan
dari Undang-Undang BHP tersebut dikarenakan Pemohon merasa pemerintah telah
melepaskan tanggung jawab biaya pendidikan kepadanya.
3.
Bahwa Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) UU NO. 9 Tahun
2009, berpotensi untuk menimbulkan
beban kepada peserta didik atau orang tua dalam hal pembiayan baiaya
pendidikan. Karena peserta didik atau orang tua harus ikut dalam
mengadakan biaya penyelenggaraan sekolah yang telah menjadi Badan Hukum
Pendidikan, dan hal itu akan menimbulkan bebean finansial bagi peserta didk
dalam memperoleh pendidkan yang layak.
4.
Bahwa Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) UU NO. 9 Tahun
2009, berpotensi menimbulkan adannya diskriminasi dalam memperoleh pendidikan
yang layak. Orang tua peserta didik yang tidak mampu membayar biaya pendidikan
tersebut akan memilih untuk tidak menyekolahkan anaknsebut, sehingga peserta
didik yang bersangkutan dapat mengalami putus sekolah.
5.
Bahwa Pasal 22 ayat (1) d UU NO. 16 Tahun 2004
tersebut telah merugikan Pemohon secara aktual, karena :
a. Pemohon
merasa merupakan korban dari lepas tangan tanggung jawab pemerintah dalam
bidang pendidikan.
b. Pemohon
telah kehilangan hak untuk dapat menikmati pendidikan yang layak.
c. Pemohon
telah merasa mengalami diskriminasi dalam bidang pendidikan, khususnya dalam
hal pendaftaran peserta didik ke sekolah yang telah menjadi Badan Hukum
Pendidikan.
6.
Ketentuan Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) UU No. 9
Tahun 2009, merupakan pasal yang potensial dikualifikasi melanggar prinsip
penghormatan dan pengakuan terhadap hak asasi manusia, dalam hal ini hak untuk
memperoleh pendidikan yang layak. Dengan perumusan Pasal yang demikian, maka
Pasal a quo tidak proporsional dan berlebihan dan dengan sendirinya
melanggar Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
- Provisi
- Bahwa mengingat Pasal 58 UU Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa Putusan Mahkamah tidak berlaku surut, maka untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak konstitusional Pemohon. Pemohon memohon agar Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menerbitkan Putusan Sela yang memerintahkan penundaan bagi keberlakuan UU BHP tersebut dan merevisi isi dari Undang-Undang tersebut terutama pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) yang menjadi tuntutan Pemohon.
- Adalah benar bahwa pemeriksaan perkara pengujian undang-undang sebagaimana dikatakan dalam keterangan pers Ketua Mahkamah Konstitusi baru-baru ini adalah bersifat abstrak, yakni menguji pasal tertentu dari suatu undang-undang dengan pasal tertentu dari UUD 1945, namun patut disadari bahwa subyek hukum pemohon yang mengajukan perkara pengujian undang-undang berkewajiban untuk mendalilkan bahwa telah ada hak konstitusionalnya yang bersifat kongkrit dan faktual yang dilanggar dengan berlakunya suatu undang-undang. Dengan cara itulah subyek hukum itu baru dianggap memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang. Tanpa bukti kongkrit dan faktual seperti itu, maka subyek hukum tidaklah memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang. Karena itu tidaklah sepadan dan sebanding, jika permohonan yang wajib dibuktikan telah ada kerugian hak konstituional, yang berarti perkara dimulai dengan kasus yang nyata dan faktual terjadi, namun proses pemeriksaan pengujian justru mengabaikannya dan memandang perkara sebagai semata-mata bersifat abstrak. Kemudian dengan cara pandang abstrak seperti itu, Mahkamah Konstitusi tidak diberi kewenangan oleh undang-undang untuk memberikan putusan provisi dalam perkara pengujian undang-undang. Kekosongan pengaturan mengenai putusan provisi, selain bertentangan dengan norma dasar keadilan yang justru harus menjiwai perumusan norma-norma hukum, tetapi juga mengandung corak pembiaran bagi aparatur Negara dan/atau aparatur pemerintah untuk bertindak sewenang-wenang melanggar dan merugikan hak konstitusional seseorang yang dijamin oleh UUD dengan cara menerapkan dan/atau menafsirkan suatu ketentuan undang-undang. Sementara norma undang-undang itu sedang diuji untuk memastikan apakah norma undang-undang itu bertentangan dengan UUD atau tidak. Atau sekurang-kurangnya sedang dimohonkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memberikan tafsir final agar norma undang-undang tidak bertentangan dengan norma Konstitusi. Karena itu, Pemohon berpendapat bahwa sudah sepantasnya, Mahkamah Konstitusi memperluas jusrisprudensi mengenai dikabulkannya permohonan provisi sebagaimana tertuang dalam Putusan No 133/PUU-VII/2009, terutama terhadap kasus-kasus kongkrit dan faktual yang dialami oleh seseorang yang membuatnya memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang yang berkaitan langsung dengan hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945.
Dengan semua
argumen dan alasan-alasan yang dikemukakan diatas, Pemohon memohon dengan
segala hormat kepada Majelis Hakim Konstitusi, dengan segala kebijaksanaan dan
pengalaman yang dimilinya, kiranya berkenan untuk mengabulkan permohonan
provisi ini.
- PETITUM
Bahwa dari seluruh dalil-dalil yang
diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir, dengan ini Pemohon mohon kepada
para Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk kiranya berkenan
memberikan putusan sebagai berikut:
Dalam
Provisi:
1.
Menerima permohonan Provisi Pemohon;
2.
Menunda atau membatalkan keberlakuan dari
Undang-Undang No.9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan atau merevisi
Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) karena pasal tersebut dirasa merugikan Pemohon
sebagai warga negara yang berhak atas pendidikan yang layak.
Dalam Pokok
Perkara:
1.
Menerima dan mengabulkan permohonan pengujian
Pasal 41 ayat (7) dan (8) UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan
Hukum Pendidikan (BHP) terhadap Undang – Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2.
Menyatakan Pasal Pasal 41 ayat (7) dan (8) UU No. 9
Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP)
bertentangan dengan Pasal 31 ayat (1) danayat (2) Undang-Undang
Dasar Tahun 1945, sepanjang tidak ditafsirkan sesuai masa jabatan Presiden dan
masa jabatan anggota kabinet;
3.
Menyatakan Pasal Pasal 41 ayat (7) dan (8) UU No. 9
Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP), tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya, sepanjang
tidak ditafsirkan sesuai masa jabatan Presiden dalam satu periode dan masa
jabatan anggota kabinet;
4.
Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat dan
menganggap Pasal 41 ayat (7) dan (8) UU No. 9 Tahun 2009
tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) tetap mempunyai kekuatan
hukum mengikat dan berlaku, mohon agar Majelis Hakim Konstitusi dapat memberikan
tafsir konstitusional terhadap Pasal
41 ayat (7) dan (8) UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum
Pendidikan (BHP), dengan menyatakan konstitusional bersyarat (conditionally
constitutional) diartikan bhawa peserta didik tidak ikut menanggung biaya
penyelenggaraan pendidkan dari Badan Hukum Pendidikan atau terdapat aturan mengenai besar kecilnya biaya pendidkan
yang harus ditanggung peserta didik secara proporsional dan berkeadilan.
5.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara
Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)
Hormat Pemohon
Dedi Triyanto
Kearifan Lokal
A. Pengertian Kearifan Lokal
Dalam
pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata:
kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris
Indonesia John M. Echols dan
Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan)
sama dengan kebijaksanaan. Secara umum local wisdom (kearifan
setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang
bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh
anggota masyarakatnya.
Local Genius sebagai Local Wisdom
Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius. Local genius
ini merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales.
Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local genius
ini (lihat Ayatrohaedi, 1986). Antara lain Haryati Soebadio mengatakan
bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian
budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan
mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi,
1986:18-19). Sementara Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41)
mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius
karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang.
Ciri-cirinya adalah:
1. mampu bertahan terhadap budaya luar
2. memiliki kemampuan mengakomodasi
unsur-unsur budaya luar
3. mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya
asli
4. mempunyai kemampuan mengendalikan
5. mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
Perilaku yang bersifat umum dan berlaku di masyarakat secara meluas,
turun temurun, akan berkembang menjadi nilai-nilai yang dipegang teguh, yang
selanjutnya disebut sebagai kebudayaan (budaya). Kearifan lokal didefinisikan
sebagai kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah (Gobyah,
2003). Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai
usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan
bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang
tertentu (Ridwan, 2007). Kearifan (wisdom) secara etimologi berarti kemampuan
seseorang dalam menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi sesuatu kejadian,
obyek atau situasi. Sedangkan lokal, menunjukkan ruang interaksi dimana
peristiwa atau situasi tersebut terjadi.
Dengan demikian, kearifan lokal secara substansial merupakan norma yang
berlaku dalam suatu masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan
dalam bertindak dan berperilaku sehari-hari. Oleh karena itu, kearifan lokal merupakan
entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya
(Geertz, 2007).
S. Swarsi
Geriya dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali”, mengatakan bahwa secara
konseptual, kearifan lokal dan
keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada
filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional.
Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat
bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga.
Adat kebiasaan
pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik,
karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang dan
mengalami penguatan (reinforcement). Apabila suatu tindakan tidak dianggap
baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara terus-menerus.
Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik
atau mengandung kebaikan. Adat yang tidak baik akan hanya terjadi apabila terjadi
pemaksaan oleh penguasa. Bila demikian maka ia tidak tumbuh secara alamiah
tetapi dipaksakan.
B. Contoh dan Fungsi Kearifan Lokal
Menurut Prof.
Nyoman Sirtha dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali”
dalam http://www.balipos.co.id, bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat
dapat berupa: nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat,
dan aturan-aturan khusus. Oleh karena bentuknya yang bermacam-macam dan
ia hidup dalam aneka budaya masyarakat maka fungsinya menjadi bermacam-macam.
Balipos
terbitan 4 September 2003 memuat tulisan “Pola Perilaku Orang Bali
Merujuk Unsur Tradisi”, antara lain memberikan informasi tentang beberapa
fungsi dan makna kearifan lokal, yaitu:
1. Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam.
2. Berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia, misalnya berkaitan dengan
upacara daur hidup, konsep kanda pat rate.
3. Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan,
misalnya pada upacara
saraswati, kepercayaan dan pemujaan pada pura Panji.
4. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.
5. Bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunal/kerabat.
6. Bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian.
7. Bermakna etika dan moral, yang terwujud dalam upacara Ngaben dan penyucian
roh leluhur.
8. Bermakna politik, misalnya upacara ngangkuk merana dan
kekuasaan patron client
Dari penjelasan
fungsi-fungsi tersebut tampak betapa luas ranah keraifan lokal,
mulai dari yang sifatnya sangat teologis sampai yang sangat pragmatis dan teknis. Elly
Burhainy Faizal mencontohkan beberapa kekayaan budaya, kearifan lokal di
Nusantara yang terkait dengan pemanfaatan alam yang pantas digali lebih lanjut
makna dan fungsinya serta kondisinya sekarang dan yang akan datang. Kearifan
lokal terdapat di beberapa daerah:
1. Papua, terdapat kepercayaan te aro neweak lako (alam adalah
aku). Gunung Erstberg dan
Grasberg dipercaya sebagai kepala mama, tanah dianggap sebagai
bagian dari hidup manusia. Dengan demikian maka pemanfaatan sumber
daya alam secara hati-hati.
2. Serawai, Bengkulu, terdapat keyakinan celako kumali. Kelestarian lingkungan
terwujud dari kuatnya keyakinan ini yaitu tata nilai tabu dalam berladang
dan tradisi tanam tanjak.
3. Dayak Kenyah, Kalimantan Timur, terdapat tradisi tana‘ ulen.
Kawasan hutan dikuasai
dan menjadi milik masyarakat adat. Pengelolaan tanah diatur dan
dilindungi oleh aturan adat.
4. Masyarakat Undau Mau, Kalimantan Barat. Masyarakat ini
mengembangkan kearifan
lingkungan dalam pola penataan ruang pemukiman, dengan mengklasifikasi
hutan dan memanfaatkannya. Perladangan dilakukan dengan rotasi dengan menetapkan
masa bera, dan mereka mengenal tabu sehingga penggunaan teknologi
dibatasi pada teknologi pertanian sederhana dan ramah lingkungan.
5. Masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan, Kampung Dukuh Jawa Barat. Mereka
mengenal upacara tradisional, mitos, tabu, sehingga pemanfaatan hutan
hati-hati. Tidak diperbolehkan eksploitasi kecuali atas ijin sesepuh adat.
Kearifan
lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh
dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi dalam
mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan
yang sakral sampai yang profan.
Contoh Kearifan Lokal yang ada di Indonesia
Kearifan-kearifan
lokal di Indoensia ini sangat kaya, beragam, dan menyebar di keseluruhan kawasan
di Indonesia. Kearifan lokal ini umumnya dapat dijumpai dalam adat. Istilah
inilah yang menjadi dasar dari kearifan lokal bangsa Indonesia. Adat dijumpai
dalam kebudayaan etnik di seluruh Indonesia. Adat masyarakat Nusantara ini,
memiliki konsep-konsepnya sendiri pula. Di Aceh adatnya disebut dengan adat bak
petumeuruhom hukom bak syiah kuala. Dalam kebudayaan Minangkabau adat
dikonsepkan sebagai adat basandikan syarak, syarak basandikan kitabullah,
syarak mangato, adat mamakai. Berikut dideskripsikan konsep kearifan lokal
(adat) Melayu.
Menurut Lah Husni
adat pada etnik Melayu
tercakup dalam empat ragam,
iaitu: (1) adat yang sebenar adat;
(2) adat yang diadatkan;
(3) adat yang
teradat, dan (4)
adat istiadat. (1) Adat yang
sebenar adat adalah apabila menurut waktu dan keadaan, jika dikurangi akan
merusak, jika dilebihi akan mubazir
(sia-sia). Proses ini berdasar
kepada: (a) hati nurani
manusia budiman, yang tercermin dalam
ajaran adat: Pisang emas bawa
belayar; Masak sebiji di dalam peti; Hutang emas dapat dibayar; Hutang budi
dibawa mati. (b) kebenaran yang sungguh ikhlas, dengan berdasar pada: berbuat
karena Allah bukan karena ulah; (c) keputusan yang berpadan, dengan
berdasar kepada: hidup
sandar-menyandar, pisang seikat
digulai sebelanga, dimakan bersama-sama. yang
benar itu harus dibenarkan,
yang salah disalahkan.
Adat murai berkicau, tak
mungkin menguak. Adat lembu
menguak, tak mungkin berkicau.
Adat sebenar adat ini menurut
konsep etnosains Melayu adalah: penuh tidak melimpah, berisi tidak kurang,
yang besar dibesarkan, yang tua
dihormati, yang kecil disayangi,
yang sakit diobati, yang bodoh diajari, yang benar diberi hak, yang kuat
tidak melanda, yang tinggi tidak menghimpit,
yang pintar tidak
menipu, hidup berpatutan, makan berpadanan. Jadi ringkasnya, hidup
itu seharusnya harmonis, baik mencakup diri sendiri,
seluruh negara, dan lingkungan
hidupnya. Tidak ada hidup
yang bernafsi-nafsi. Inilah adat
yang tidak boleh berubah (Lah Husni, 1986:51).
(2) Adat yang diadatkan adalah adat itu bekerja
pada suatu landasan tertentu,
menurut mufakat dari
penduduk daerah
tersebut--kemudian
pelaksanaannya diserahkan oleh rakyat kepada yang dipercayai mereka.
Sebagai pemangku adat adalah
seorang raja atau penghulu. Pelaksanaan
adat ini wujudnya adalah
untuk kebahagiaan penduduk,
baik lahir ataupun batin, dunia
dan akhirat, pada saat itu dan saat yang akan
datang. Tiap-tiap negeri itu
mempunyai situasi yang berbeda
dengan negeri-negeri lainnya,
lain lubuk lain ikannya
lain padang lain belalangnya. Perbedaan
keadaan, tempat, dan kemajuan
sesuatu negeri itu membawa resam dan adatnya sendiri, yang sesuai dengan
kehendak rakyatnya, yang diwarisi dari
leluhurnya. Perbedaan itu
hanyalah dalam lahirnya saja,
tidak dalam hakikinya. Adat yang diadatkan ini
adalah sesuatu yang
telah diterima untuk menjadi kebiasaan atau peraturan yang
diperbuat bersama atas mufakat menurut ukuran yang patut dan benar, yang dapat
dimodifikasi sedemikian rupa secara fleksibel. Dasar
dari adat yang diadatkan ini
adalah: penuh tidak melimpah,
berisi tidak kurang, terapung
tidak hanyut, terendam tidak basah (Lah Husni, 1986:62).
(3) Adat yang teradat adalah
kebiasaan-kebiasaan yang secara berangsur-angsur atau cepat menjadi adat.
Sesuai dengan pepatah: sekali
air bah, sekali tepian
berpindah, sekali zaman beredar,
sekali adat berkisar. walau terjadi perubahan adat itu, inti adat tidak
akan lenyap: adat pasang turun-naik,
adat api panas,
dalam gerak berseimbangan, di antara akhlak dan
pengetahuan. Perubahan itu hanya terjadi dalam
bentuk ragam, bukan dalam hakiki dan
tujuan semula. Umpamanya jika dahulu orang memakai tengkuluk
atau ikat kepala dalam suatu majelis, kemudian sekarang memakai kopiah itu
menjadi pakaian yang teradat. Jika dahulu berjalan berkeris atau
disertai pengiring, sekarang
tidak lagi. Jika dahulu warna
kuning hanya raja yang boleh
memakainya, sekarang siapa pun
boleh memakainya (Lah Husni, 1986:62).
(4) Adat
istiadat adalah kumpulan
dari berbagai kebiasaan, yang
lebih banyak diartikan tertuju kepada upacara khusus seperti adat:
perkawinan, penobatan raja, dan pemakaman
raja. Jika hanya adat saja
maka kecenderungan pengertiannya
adalah sebagai himpunan hukum, misalnya: hukum
ulayat, hak asasi dan sbagainya. Dalam konteks kebudayaan Melayu, adat
istiadat ini mencakup daur hidup manusia Melayu, yang tercermin dalam upacara
melenggang perut saat perempuan Melayu hamil. Kemudian upacara kelahiran,
akikah, manabalkan nama, bercukur, dan memijak tanah. Seterusnya upacara
khitanan pada saat akil baligh. Kemudian ada pula upacara perkawinan adat
Melayu, yang mencakup tahapan-tahapan seperti merisik kecil, meminang, jamu
sukut, akad nikah, hempang pintu, hempang batang, hempang kipas, duduk di
pelaminan, mandi bedimbar, meminjam pengantin, dan setersnya. Selanjutnya ada
pula upacara kematian, membaca Yassin, kirim doa, dan seterusnya. Dalam
kebudayaan Melayu terdapat juga upacara-upacara yang bersifat menyatu dengan
alam (kosmologi) seperti mulaka nukah, mulaka ngerbah, jamu laut, mandi Syafar,
dan lain-lainnya. Yang jelas adat istiadat Melayu lahir karena respins terhadap
alam.
Dalam adat
Melayu kearifan-kearifan lokal dalam konteks membentuk kepribadian dan
kebangsaan, sangat lekat dengan konsep
adat yang diadatkan. Bahwa orang Melayu sangatlah menghargai pemimpin seperti
sultan, raja, perdana menteri, menteri, panglima, penghulu, ketua mukim, dan
lain-lainnya. Orang Melayu perlu memiliki pemimpin yang adil, bijaksana, bisa
diperaya (amanah), selalu berusaha untuk benar dalam hidup, dan lain-lainnya.
Pemimpin menjadi sebuah kewajiban dalam tata pemerintahan dan politik dalam kebudayaan
Melayu. Seperti tercermin dalam ajaran adat: Apa tanda Melayu jati/ mengangkat
pemimpin bijak bestari/ Apa tanda Melayu jati/ Pemimpin dan ulama mesti
bersebati. Dengan adanya pemimpin dan rakyat yang dipimpin menjadikan umat
Melayu memiliki tata pemerintahnya dan selanjutnya ketika nasionalisme muncul
mereka membentuk negara bangsa. Ini salah satu karakter kepemimpinan yang bisa
diterapkan dalam konteks menuju karakter bangsa.
Dalam adat
Melayu juga dikenal kearifan lokal, bahwa hidup dikandung adat, biar mati anak
asal jangan mati adat. Artinya bahwa orang Melayu sangatlah memperhatikan
kesinambungan dan pendidikkan kebudayaan. Bila adat itu lestari maka akan
lestarilah kebudayaan Melayu. Jika keturunan kita berbuat salah maka kita
jangan segan memberikan hukuman atau sangsi sosial sebagaimana yang berlaku.
Bukan saja kearifan lokal Melayu, beberapa kelompok etnik di Nusantara ini juga
memiliki kearifan lokal yang berkaitan dengan pembentukan karakter bangsa.
Misalnya pada etnik Nias, sistem penggolongan derajat manusia
berasaskan tingkat-tingkat kehidupan, dimulai dari janin sampai kehidupan
akhirat. Pengertian bosi ini mencakup
dua belas tingkat kehidupan. Dalam
konteks ini, bosi nantinya mengarahkan manusia untuk berusaha mencapai tingkat
tertinggi, agar setelah ia mati, akan memperoleh kebahagiaan di dalam teteholi
ana’a (sorga). Adapun pembagian bosi itu
adalah: fangaruwusi (memperlihatkan kandungan); tumbu (lahir); famatoro doi
(memberi nama); famoto (sirkumsisi); falowa (kawin); famadadao omo (membangun
rumah); fa’aniha banua (memasuki persekutuan desa); famaoli (menjadi anggota
adat); fangai toi (mengambil gelar); fa’amokho (kekayaan); mame’e go banua
(menjamu orang se desa) dan mame’e go nori (menjamu orang satu ori, beberapa
desa (Dasa Manao et al. 1998:195-196). Inti dari kearifan lokal itu adalah,
bahwa sebagai sebuah suku dan juga bangsa setiap orang Nias selalu berinteraksi
dan menjadi bahagian komunitas sosial. Dalam hal ini seorang pemimpin sosial
mestilah mampu memberikan rezekinya kepada orang lain. Seorang pemimpin adalah
tangan di atas bukan di bawah.
Selain itu
kearifan lokal dalam konteks pembangunan karakter bangsa juga terdapat dalam
kebudayaan Batak Toba. Sebagai satu kesatuan etnik, orang-orang
Batak Toba mendiami suatu daerah kebudayaan (culture area) yang disebut dengan
Batak Toba. Mereka disebut orang
Toba. Menurut Vergouwen, masyarakat
Batak Toba mengenal beberapa kesatuan tempat yaitu: (1) kampung, lapangan empat
persegi dengan halaman yang bagus dan kosong di tengah-tengahnya, (2) huta,
“republik” kecil yang diperintah seorang raja, (3) onan, daerah pasar, sebagai
satu kesatuan ekonomi, (4) homban (mata air), (5) huta parserahan, kampung
induk dan lain-lain (Vergouwen 1964:119-141). Inti ajaran kearifan lokal seperti
terurai di atas adalah bahwa kita hidup adalah sebagai makhluk sosial yang
nemerlukan dan diperrlukan oleh orang lain baik di peringkat kelompok sosial
kecil sampai yang besar, termasuk bernegara.
Dari contoh-contoh di atas tergambar dengan jelas bahwa kearifan lokal
masyarakat Nusantara terkodifikasi dalam adat. Adat masyarakat Nusantara ini
memiliki konsep-konsepnya tersendiri di setiap kelompok etnik. Dalam kearifan
lokal Nusantara terdapat nilai-nilai untuk membentuk karakter bangsa. Nilai-nilai
tersebut mencakup: sistem kepemimpinan, hubungan sosial, hidup secara
berkelompok, pentingnya berbagi materi dan pengalaman kepada orang lain,
belajar terus dari alam, nilai-nilai gotong royong, bagaimana menghadapi
perubahan dan globalisasi, sadar akan makhluk yang mulai dari kecil, dewasa,
sampai meninggal, hidup tidak boleh sombong, dan seterusnya.
Sebagai sebuah bangsa yakni bangsa Indonesia kita berkarakter positif
yang dapat digali nilai karakter berbangsa itu dari kearifan lokal (etnik). Di
antara karakter bangsa itu adalah: bersama secara sosial dan bergotong royong,
menerapkan nilai-nilai kebenaran berdasarkan agama dan adat, memiliki pemimpin,
menghormati pemimpin, bertindak secara benar, amanah, menjaga persatuan, tidak
menghujat, dan seterusnya. Dengan demikian, maka kearifan lokal ini perlu terus
digali dalam rangka menumbuhkan karakter berbangsa dan bernegara.
Masih
banyak lagi kearifan lokal yang masih dapat bertahan dan melekat di kehidupan
masyarakat. Sistem pertanian subak di Bali, sistem pelestarian hutan oleh
suku-suku pedalaman, sistem pengaturan mencari ikan di pedalaman Papua, sistem
penetasan telur ayam dengan menggunakan gabah dan gerabah di Nusa Tenggara,
sistem pengelolaan tanah ulayat yang berkelanjutan dan lain-lain terbukti dapat
diterapkan sejalan dengan kehidupan modern. Manusia modern seharusnya menyadari
bahwa kearifan lokal itu bukanlah merupakan suatu yang ditemukan dan
dikembangkan oleh para nenek moyang kita secara instan. Kearifan lokal ini
dikembangkan dalam waktu lama dan selaras dengan pelestarian lingkungan.
Tradisi
subak di Bali yang menyalurkan air untuk pertanian, sasi di Maluku dan Papua
yang mencegah penangkapan ikan secara berlebihan (Salim, dalam Rohadi,
2007:35), zoning di Papua dan karuhun di
tanah Sunda yang mengatur pengelolaan lahan/hutan, dan air (Hadi, 2009: 28-30),
serta leuweung di tanah Sunda untuk pengelolaan dan tata guna hutan dan lahan
(Abdilah, 2007:2) adalah sebagian contoh kearifan lokal yang sangat ramah
lingkungan dan berdampak positif bagi kehidupan warga masyarakat di sekitarnya.
Hal tersebut sebenarnya menunjukkan realitas social yang tidak saja membuktikan
bentuk-bentuk tanggung jawab etik dan moral, wujud dari keserasian dan
keselarasan hubungan antara manusia dengan alam, akan tetapi juga menunjukkan
bahwa secara naluriah manusia memiliki kecenderungan untuk selalu memahami
lingkungannya, menjalin ikatan yang sedemikian dekat dengan alam; juga
merupakan cermin dari masyarakat yang mandiri.
C. Jenis-Jenis Kearifan Lokal
Jenis kearifan lokal meliputi tata kelola, nilai-nilai adat, serta
tata cara dan prosedur, termasuk dalam
pemanfaatan ruang (tanah ulayat).
1. Tata Kelola
Di setiap daerah pada umumnya terdapat suatu sistem kemasyarakatan
yang mengatur tentang struktur sosial dan keterkaitan antara kelompok
komunitas yang ada, seperti Dalian
Natolu di Sumatera Utara, Nagari di Sumatera Barat, Kesultanan dan Kasunanan
di Jawa dan Banjar di Bali. Sebagai contoh, masyarakat Toraja memiliki lembaga
dan organisasi sosial yang mengelola kehidupan di lingkungan perdesaan. Pada
setiap daerah yang memiliki adat besar pada umumnya terdiri dari beberapa
kelompok adat yang dikuasai satu badan musyawarah adat yang disebut Kombongan
Ada’. Setiap Kombongan Ada’
memiliki beberapa penguasa adat kecil yang disebut Lembang. Di daerah
lembang juga masih terdapat penguasa adat wilayah yang disebut Bua’ (Buletin Tata
Ruang, 2009).
Selain itu, terdapat pula pembagian tugas dan fungsi dalam suatu
kelompok masyarakat adat
misalnya Kepatihan (patih), Kauman (santri) di perkampungan sekitar Keraton
di Jawa. Kewenangan
dalam struktur hirarki sosial juga menjadi bagian dari tata kelola, seperti
kewenangan ketua adat dalam pengambilan keputusan, dan aturan sanksi serta denda
sosial bagi pelanggar peraturan dan hukum adat tertentu.
2. Sistem Nilai
Sistem nilai merupakan tata nilai yang dikembangkan oleh suatu
komunitas masyarakat
tradisional yang mengatur tentang etika penilaian baik-buruk serta benar atau salah.
Sebagai contoh, di Bali, terdapat sistem nilai Tri Hita Karana yang mengaitkan dengan
nilai-nilai kehidupan masyarakat dalam hubungannya
dengan Tuhan, alam semesta, dan
manusia. Ketentuan tersebut mengatur hal-hal adat yang harus ditaati, mengenai
mana yang baik atau buruk, mana yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan,
yang jika hal tersebut dilanggar, maka akan ada sanksi adat yang mengaturnya.
3. Tata Cara atau Prosedur
Beberapa aturan adat di daerah memiliki ketentuan mengenai waktu
yang tepat untuk bercocok
tanam serta sistem penanggalan tradisional yang dapat memperkirakan kesesuaian
musim untuk berbagai kegiatan pertanian, seperti: Pranoto Mongso (jadwal dan
ketentuan waktu bercocok tanam berdasarkan kalender tradisional Jawa) di masyarakat
Jawa atau sistem Subak di Bali.
Selain itu, di beberapa daerah, seperti Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi,
dan Papua umumnya memiliki aturan mengenai penggunaan ruang adat termasuk
batas teritori wilayah, penempatan hunian, penyimpanan logistik, aturan pemanfaatan
air untuk persawahan atau pertanian hingga bentuk-bentuk rumah tinggal
tradisional. Di Tasikmalaya Jawa Barat misalnya, terdapat sebuah kampung budaya
yaitu Kampung Naga, yang masyarakatnya sangat teguh memegang tradisi serta
falsafah hidupnya, mencakup tata wilayah (pengaturan pemanfaatan lahan), tata
wayah (pengaturan waktu pemanfaatan), dan tata lampah (pengaturan
perilaku/perbuatan).
4. Ketentuan Khusus (Kawasan Sensitif, Suci,
Bangunan)
Mengenai pelestarian dan perlindungan terhadap kawasan sensitif,
seperti di Sumatera Barat,
terdapat beberapa jenis kearifan lokal yang berkaitan dengan pengelolaan hutan,
tanah, dan air seperti Rimbo Larangan (hutan adat/hutan larangan), Banda Larangan
(sungai, anak sungai / kali larangan), Parak (suatu lahan tempat masyarakat berusaha
tani dimana terdapat keberagaman jenis tanaman yang dapat dipanen sepanjang waktu
secara bergiliran), serta Goro Basamo (kegiatan kerja bersama secara gotong royong
untuk kepentingan masyarakat banyak seperti membuat jalan baru, bangunan rumah
ibadah, membersihkan tali bandar (sungai), dan menanam tanaman keras).
Terkait dengan bentuk adaptasi dan mitigasi tempat tinggal terhadap
iklim, bencana atau ancaman
lainnya, masyarakat tradisional juga telah mengembangkan berbagai bentuk arsitektur
rumah tradisional seperti rumah adat batak, rumah gadang, rumah joglo, rumahpanjang,
rumah toraja, dan rumah adat lainnya yang dapat memberikan perlindungan dan ramah
terhadap lingkungan.
D. Bentuk Kearifan Lokal
Bentuk kearifan lokal dapat dikategorikan ke dalam dua aspek, yaitu
kearifan lokal
yang berwujud nyata (tangible) dan yang tidak berwujud (intangible).
1. Kearifan Lokal yang Berwujud Nyata
(Tangible)
Bentuk kearifan lokal yang berwujud nyata meliputi
beberapa aspek berikut:
a) Tekstual
Beberapa jenis kearifan lokal seperti sistem nilai, tata cara,
ketentuan khusus yang dituangkan
ke dalam bentuk catatan tertulis seperti yang ditemui dalam kitab tradisional
primbon, kalender dan prasi (budaya tulis di atas lembaran daun lontar). Sebagai
contoh, prasi, secara fisik, terdiri atas bagian tulisan (naskah cerita) dan gambar
(gambar ilustrasi) (Suryana, 2010). Tulisan yang digunakan dalam prasi adalah
huruf Bali. Gambar yang melengkapi tulisan dibuat dengan gaya wayang dan menggunakan
alat tulis/gambar khusus, yaitu sejenis pisau.
Seiring dengan pergantian zaman, fungsi prasi sudah banyak beralih
dari fungsi awalnya, yaitu
awalnya sebagai naskah cerita yang beralih fungsi menjadi benda koleksi
semata. Sekalipun perubahan fungsi lebih mengemuka dalam keberadaan prasi masa
kini, penghargaannya sebagai bagian dari bentuk-bentuk kearifan lokal
masyarakat Bali tetap dianggap penting.
b) Bangunan/Arsitektural
Banyak bangunan-bangunan tradisional yang merupakan cerminan dari
bentuk kearifan lokal, seperti bangunan rumah rakyat di Bengkulu. Bangunan
rumah rakyat ini merupakan
bangunan rumah tinggal yang dibangun dan digunakan oleh sebagian besar
masyarakat dengan mengacu pada rumah ketua adat. Bangunan vernakular ini mempunyai
keunikan karena proses pembangunan yang mengikuti para leluhur, baik dari
segi pengetahuan maupun metodenya (Triyadi dkk., 2010). Bangunan vernakular ini
terlihat tidak sepenuhnya didukung oleh prinsip dan teori bangunan yang
memadai, namun secara teori terbukti mempunyai potensi-potensi lokal karena
dibangun melalui proses trial & error, termasuk dalam menyikapi
kondisi lingkungannya.
c) Benda Cagar Budaya/Tradisional (Karya Seni)
Banyak benda-benda cagar budaya yang merupakan salah satu bentuk
kearifan lokal,
contohnya, keris. Keris merupakan salah satu bentuk warisan budaya yang sangat
penting. Meskipun pada saat ini keris sedang menghadapi berbagai dilema dalam
pengembangan serta dalam menyumbangkan kebaikan-kebaikan yang terkandung di
dalamnya kepada nilai-nilai kemanusiaan di muka Bumi ini, organisasi bidang pendidikan
dan kebudayaan atau UNESCO Badan Perserikatan Bangsa Bangsa, mengukuhkan keris
Indonesia sebagai karya agung warisan kebudayaan milik seluruh bangsa di dunia.
Setidaknya sejak abad ke-9, sebagai sebuah dimensi budaya, Keris tidak hanya
berfungsi sebagai alat beladiri, namun sering kali merupakan media ekspresi
berkesenian dalam hal konsep, bentuk, dekorasi hingga makna yang terkandung
dalam aspek seni dan tradisi teknologi arkeometalurgi. Keris memiliki fungsi
sebagai seni simbol jika dilihat dari aspek seni dan merupakan perlambang dari
pesan sang empu penciptanya.
Ilustrasi lainnya adalah batik, sebagai salah satu kerajinan yang
memiliki nilai seni tinggi dan
telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama.
Terdapat berbagai macam motif batik yang setiap motif tersebut mempunyai makna
tersendiri. Sentuhan seni budaya yang terlukiskan pada batik tersebut bukan
hanya lukisan gambar semata, namun memiliki makna dari leluhur terdahulu,
seperti pencerminan agama (Hindu atau Budha), nilai-nilai sosial dan budaya
yang melekat pada kehidupan masyarakat.
2. Kearifan Lokal yang Tidak Berwujud
(Intangible)
Selain bentuk kearifan lokal yang berwujud, ada juga bentuk
kearifan lokal yang tidak berwujud
seperti petuah yang disampaikan secara verbal dan turun temurun yang dapat berupa
nyanyian dan kidung yang mengandung nilai-nilai ajaran tradisional. Melalui
petuah atau bentuk kearifan lokal yang tidak berwujud
lainnya, nilai sosial disampaikan secara oral/verbal
dari generasi ke generasi.
E. Peran Kearifan Lokal dalam Tatanan Nasional
Berbicara
tentang kearifan lokal, maka kita akan diseret ke sebuah mainstream yang sangat
erat hubungannya dengan kebudayaan. Pada sisi ini menjadi varian utama dalam
membentuk apa yang dicitakan, yakni penciptaan sebuah tatanan masyarakat yang
demokratis yang kemudian membentuk Negara demokrasi yang merupakan konsep
(teknis) Negara “pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” yang
disampaikan oleh Abraham Lincoln dalam pidato kenegaraan, karena masyarakat
sudah terbisaa dengan perbedaan dan bersikap toleran terhadap adanya perbedaan
tersebut dan di bangunnya asas kedemokrasian dalam sebuah pemerintahan itu
dilatarbelakangi salah satunya keragaman.
Kearifan lokal
(Local wisdom) di Indonesia memang sudah menjadi bagian tidak
terpisahkan dari masyarakat pribumi mulai sebelum Indonesia merdeka dan
berbentuk Negara kesatuan. Hal ini menunjukkan, bahwa kemerdekaan yang sekarang
kita rasakan tidak lepas dari kearifan yang sudah hidup sebelumnya contoh di
Islam ada Tahlil, para penjajah sangat ketakutan ketika masyarakat
pribumi melakukan kegiatan tahlil, srakalan, acara maulid Nabi dan
acara-acara keagamaan yang bersifat jam’iyah, karena melalui acara-acara
tersebut selain pembacaan kalimah thayibah, juga musyawarah atau sekedar
diskusi yang itu akan memunculkan ide-ide kemerdekaan (Hadiwijaya, 2010) .
Upaya Nasional dalam Menjaga
Kearifan Lokal
Sebagaimana
dalam pendahuluan di atas, bahwa merupakan tugas Negara dalam
hal ini yang paling terpenting adalah peran pemerintah dalam
menjaga keharmonisan masyarakat yang berkebudayaan yang beragam sehingga
keragaman-keberagaman tersebut tidak menjadi alasan untuk menimbulkan
perpecahan dalam suatu Negara dan dapat terjaga sekaligus dilestarikan sebagaimana
mestinya. Setidaknya ada beberapa upaya Negara dalam menjaga kearifan local,
yakni salah satunya dengan membangun museum-museum dan melalui pendidikan,
dalam artian, bagaimana pendidikan menjadikan kekuatan kebudayaan itu melalui
kerifan lokal masing-masing suku bangsa dapat eksis dan mengalami dinamisasi
yang produktif.
Produktifitas
kebudayaan yang dimaksudkan adalah transformasi kearifan lokal dalam kanca
Internasional, hal ini memungkinkan jika ditopang oleh peran pendidikan dan
aktor intelektualnya. Sehingga menjadi tindakan yang keliru kemudian memisahkan
antara proses pendidikan dan kebudayaan, karena pada praktisnya pendidikan
mempunyai tiga pilan dalam menjalankan kependidikan yakni, sekolah, keluarga
dan masyarakat yang ketiganya merupakan wilayah strategis dalam mengembangkan
kebudayaan.
Yang Mulai Terlupakan dan terabaikan
Para
intelektual dan para cendekiawan kita mulai melupakan mungkin akibat pengaruh
modernisasi kearifan lokal yang dinilainya kuno banyak para pemuda Indonesia
menganggap hal-hal yang mistis seperti keris, wiridan-wiridan, kejawen dan lain
sebagainya sudah dianggap hal yang kurang atau bahkan tidak rasional, padahal
sebelum Albert Einstein, seorang ilmuwan terhebat abad ke-20. Cendekiawan yang
katanya tak ada tandingannya sepanjang jaman termasuk karena teori
"relativitas"-nya belum lahir di dunia pengetahuan, kearifan kejawen
sudah memberikan teori, tentang asas pertama alam, dengan ungkapan ana manuk
bango buthak, ngendog ing ngenthak-ngenthak yakni sebelum dunia dan
seisinya mengisi alam semesta ini, jagad masih berupa susunan tata surya yang
kosong. di sana terdapat sekumpulan awan putih yang pijar dan berputar. Awan
putih itu jika dilihat tampak seperti burung bangau putih polos. Sekumpulan awan
itu memercikkan gumpalan-gumpalan putih kecil, seperti burung bangau yang
bertelur dan telurnya tercerai berai, telur-telur itulah yang menjadi bumi,
mars, yupiter, dan planet-planet yang lain, sedangkan inti dari gumpalan awan
itu manjadi matahari (Hadiwijaya, 2010), itu salah satu contoh saja dari
kearifan lokal yang ada di Indonesia yang serat dengan pengetahuan. Hal ini
bisa kita lihat berapa persenkah para pelajar muda (jawa) yang bisa menulis
dengan tulisan jawa atau bahkan hampir tidak ada?, padahal di tahun 2005 di
Belanda sudah membuka fakultas ilmu jawa, mungkin ini menjadi bahan koreksi
diri (muhasabah) bagi para pemuda Indonesia . Lebih ironisnya lagi
Presiden Indonesia Sosilo Bambang Yudhoyono akan membubarkan Daerah Istemewa
Yogyakarta serta menghapus system monarkhi yang menjadi salah satu pusat
kearifan lokal di Indonesia .
F. Kearifan Lokal Dalam Konteks Pembentukan
Karakter Bangsa Indonesia
Kearifan
atau kebijaksanaan adalah sesuatu yang didambakan umat manusia di dunia ini.
Kearifan dimulai dari gagasan-gagasan dari individu yang kemudian bertemu
dengan gagasan individu lainnya, seterusnya berupa gagasan kolektif. Kearifan
lokal ini biasanya dicipta dan dipraktikkan untuk kebaikan komunitas yang
menggunakannya. Ada kalanya kearifan lokal itu hanya diketahui dan diamalkan
oleh beberapa orang dalam jumlah yang kecil, misalnya desa. Namun ada pula
kearifan lokal yang digunakan oleh sekelompok besar masyarakat, misalnya
kearifan lokal etnik.
Kearifan lokal
ini juga tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan masyarakat yang mendukungnya.
Kearifan lokal, biasanya mencakup semua unsur kebudayaan manusia, yang
mencakup: sistem religi, bahasa, ekonomi, teknologi, pendidikan, organisasi
sosial, dan kesenian. Kearifan lokal bermula dari ide atau gagasan, yang
kemudian diaplikasikan dalam tahapan praktik, dan penciptaan material
kebudayaan. Ia akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman,
intensitas pergaulan sosial, dan enkulturasi sosiobudaya. Apalagi dalam
dunia yang tidak mengenal batas seperti sekarang ini, kearifan lokal sangat
diwarnai oleh wawasan manusia yang memikirkan dan menggunakannya.
Kearifan lokal
di peringkat etnik juga bisa bermacam-macam bidang. Misalnya untuk merespons
alam sekitar manusia membuat rumah sekalian dengan aspek-aspek spiritual untuk
menjaganya. Begitu juga dengan sistem perkawinan, ada yang mendasarkan kepada
perkawinan di luar klen (eksogamus), perkawinan untuk kepentingan politik
kekuasaan, perkawinan perempuan melamar lelaki atau sebaliknya. Selain itu, kearifan
lokal juga tercermina dalam filsafat atau pandangan hidup manusia yang
memikirkan dan menggunakannya. Sebagai contoh dalam masyarakat Batak Toba
dikenal dengan filsafat dalihan na tolu (DNT), dalam
masyarakat Aceh dikenal adat bak petumeuruhom hukom bak syaiah kuala,
dalam kebudayaan Minangkabau ada filsafat alam nan takambang menjadi guru,
dalam kebudayaan Jawa terdapat filsafat alon-alon waton kelakon dan sederek,
dalam masyarakat Sulawesi ada filsafat persaudaraan universal pelagandong,
dan lain-lainnya.
Kearifan lokal
juga dapat mendukung kepada keberadaan negara bangsa (nation
state) tertentu. Bahkan dalam merumuskan sebuah negara bangsa,
selalunya diwarnai oleh kearifan-kearifan lokal yang tumbuh dalam masyarakat
yang membentuk dan mencita-citakan negara bangsa tersebut. Misalnya Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang mempunyai dasar negara Pancasila,
sebenarnya adalah proses pemikiran para pendiri bangsa ini untuk membuat dasar
negara yang diambil dan digali dari nilai-nilai kearifan lokal Nusantara.
Kearifan-kearifan lokal ini kemudian dirumuskan menjadi lima sila yang berdasar
kepada bentuk “ikatan sosial budaya” biar berbeda-beda tetapi tetap satu (bhinneka
tunggal ika).
Kearifan lokal
yang dimaksud bisa saja berasal dari kebudayaan etnik, atau pemikiran
kebangsaan dari masyarakat Indonesia, dari rentangan masa ke masa. Selanjutnya
menjelaskan bagaimana kearifan lokal ini dapat memebentuk karakter bangsa
Indoensia, yang seperti kita ketahui memiliki ciri-ciri seperti: suka bergotong
royong, religius, nasionalis dan menghargai segala perbedaan dalam konteks
persatuan dan kesatuan, pekerja keras, tidak bergaya hidup mewah, dan
seterusnya, sebagai karakter yang dicita-citakan bersama, dalam rangka
membangun negara bangsa Indonesia.