Jakarta, 28 Maret 2012
Kepada Yang
Mulia
KETUA
MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK
INDONESIA
Jl. Medan
Merdeka Barat No.6
Jakarta
10110
HAL : PERMOHONAN
PENGUJIAN PASAL 41 AYAT (7) DAN PASAL (8) UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9
TAHUN 2009 TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN (BHP) TERHADAP UNDANG –
UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945.
Dengan hormat,
Saya yang bertanda-tangan di bawah ini :
Nama :
Dedi Triyanto
Tempat/tanggal lahir :
Sragen, 28 Februari 1977
Agama :
Islam
Pekerjaan :
Swasta
Kewarganegaraa :
Indonesia
Alamat lengkap :
Gemolong, Sragen, Jawa Tengah
Selanjutnya disebut sebagai “Pemohon”.
Pemohon dengan ini
mengajukan Permohonan Pengujian Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebelum melanjutkan pada uraian
tentang permohonan beserta alasan-alasannya, Pemohon ingin lebih dahulu
menguraikan tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi dan ”legal standing” Pemohon
sebagai berikut:
- Kewenangan Mahkamah Konstitusi
1.
Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi (MK)
melakukan pengujian terhadap Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU No. 9 Tahun 2009).
2.
Merujuk pada ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945
juncto Pasal 10 ayat (1) huruf (a) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (UU MK),
bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian
undang-undang terhadap Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945).
Pasal 24 C
ayat (1) UUD 1945 antara lain menyatakan :
“Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar,…”
Pasal 10
ayat (1) huruf a UU MK antara lain menyatakan :
“Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk”:
a. menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, …”
3.
Selain itu, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengatur bahwa secara
hierarkis kedudukan UUD 1945 lebih tinggi dari undang-undang. Oleh karena itu,
setiap ketentuan undang-undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Jika
terdapat ketentuan dalam undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945, maka
ketentuan tersebut dapat dimohonkan untuk diuji melalui mekanisme pengujian
undang-undang.
Berdasarkan
hal-hal tersebut di atas, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa
dan memutus permohonan pengujian Undang-Undang ini.
- Kedudukan Hukum (legal standing) Pemohon
- Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU MK mengatur bahwa :
a. “Pemohon
adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: Perorangan warga negara
Indonesia;
b. ..Kesatuan
masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
undang-undang;
c. Badan hukum
publik atau privat; atau
d. Lembaga
negara.
Selanjutnya penjelasan Pasal 51 ayat
(1) menyatakan :
Yang
dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bahwa
Pemohon adalah perorangan Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud Pasal 52
ayat (1) huruf a UU MK yang hak-hak konstitusionalnya telah dirugikan
oleh berlakunya Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009
tentang Badan Hukum Pendidikan yang mengatur tentang pembiayaan badan hukum pendidikan
yang harus ditanggung oleh pemerintah beserta masyarakat, dalam hal ini adalah
peserta didik.
Bahwa
merujuk kepada Putusan Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/ 2005 tanggal
31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 dan
putusan-putusan selanjutnya, berpendirian bahwa kerugian hak dan/ atau
kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus
memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
1.
Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon
yang diberikan oleh UUD 1945.
2.
Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh
Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan
pengujian.
3.
Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi.
4.
Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband)
antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan
pengujian.
5.
Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya
permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan
atau tidak lagi terjadi.
Dengan
demikian maka ada lima syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam menguji
undang-undang terthadap Undang-Undang Dasar. Syarat pertama adalah
kualifikasi Pemohon sebagai warga negara Republik Indonesia, untuk bertindak
sebagai pemohon sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK. Syarat
kedua dengan berlakunya suatu undang-undang hak dan/atau kewenangan konstitusional
pemohon dirugikan. Syarat ketiga, kerugian konstitusional tersebut
bersifat spesifik. Syarat keempat kerugian tersebut timbul akibat
berlakunya undang-undang yang dimohon. Syarat kelima, kerugian
konstitusional tersebut tidak akan terjadi lagi kalau permohonan ini
dikabulkan.
Bahwa uraian
di atas membuktikan bahwa Pemohon (Perseorangan Warga Negara Indonesia)
memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai
Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang ini.
Bahwa
berdasarkan kualifikasi dan syarat tersebut di atas, maka
Pemohon sebagai Warga Negara Indonesia, benar-benar telah dirugikan
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya akibat berlakunya Pasal 41 ayat (7)
dan ayat (8) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan
(BHP) karena hal tersebut dapat menimbulkan diskrimanasi dalam memperoleh
pendidikan yang sama. Akhirnya, apabila permohonan pengujian terhadap ketentuan
Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan
Hukum Pendidikan (BHP) dikabulkan, maka hak dan/atau kewenangan
konstitusional Pemohon tidak lagi dirugikan. Dengan demikian,
syarat kedudukan hukum (legal standing) Pemohon telah sesuai dan
memenuhi ketentuan yang berlaku.
- ALASAN-ALASAN PEMOHON MENGAJUKAN PERMOHONAN PENGUJIAN PASAL 41 AYAT (7) DAN AYAT (8) UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN (BHP)
- Pemohon Berhak Atas Pendidikan Yang Layak Dan Setara Tanpa Adannnya Diskriminasi
1.
Bahwa sejak dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang
Dasar Tahun 1945, telah terjadi perubahan yang mendasar dalam sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia. Perubahan pokok dilakukan pada
diakuinya hak-hak asasi manusia, termasuk adanya kesamaan di dalam memperoleh
pendidikan yang sama.
2.
Bahwa sesuai dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 setiap
orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa
pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu.
3.
Bahwa secara yuridis Undang-Undang Dasar Tahun 1945
memberikan jaminan semua warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak
dan setara sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar
Tahun 1945.
4.
Bahwa bunyi Pasal 31 ayat (2) menyebutkaan bahwa
setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya. Maka sesuai dengan pasal tersebut pemerintah wajib membiayai
pendidikan dasar dari setiap warga negara.
Norma
konstitusi di atas mencerminkan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang berlaku
bagi seluruh manusia secara universal. Dalam kualifikasi yang sama, setiap
manusia, termasuk di dalamnya Pemohon. Namun pada kenyataannnya ada warga
negara yang tidak dapat memperoleh pendidikan yang layak seperti yang dijamin
dalam konstitusi negara Indonesia.
- Pasal 41 Ayat (7) Dan Ayat (8) Menimbulkan Beban Biaya Pendidikan Yang Dapat Memberatkan Para Peserta Didik
1.
Bahwa menurut UU No. 9 Tahun 2009, Pasal 41 ayat (7) menyatakan
bahwa Peserta didik harus ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan
harus menanggung biaya tersebut sesuai dengan kemampuan peserta didik, orang
tua, atau pihak yang bertanggung jawab membiayainya.
2.
Bahwa menurut UU No. 9 Tahun 2009, Pasal 41 ayat (8)
menyatakan Biaya penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
yang ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan menengah
berstandar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan pada
BHPP atau BHPPD paling banyak 1/3 (sepertiga) dari biaya operasional.
Bahwa dengan
kenyataan seperti itu, Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) UU No. 9 Tahun 2009 pada
akhirnya dapat menimbulkan beban pada peserta dalam hal pendanaan pada Badan
Hukum Pendidikan. Hal itu disebabkan karena biaya penyelenggaraan dari Badan
Hukum Pendidikan tersebut harus ikut ditanggung oleh peserta didik, orang tua,
ata pihak yang bertanggung jawab membiayainya. Dengan demikian hal tersebut
menimbulkan akibat bahwa beban pembiayaan sekolah harus ditanggung oleh peserta
didik yang seharusnya biaya tersebut harus ditanggung oleh pemerintah. Karena
pemerintah harus berkewajiban dan menjamin pendidikan dasar 9 tahun yang layak
bagoi setiap warga negara. Hal tersebut bisa dikatakan sebagai lepas tangan
dari tanggung jawab pemerintah dalam hal pembiayaan pendidikan dari pemerintah
kepada masyarakat.
Selain itu
bunyi pasal 41 ayat (7) Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 menyatakan bahwa peserta
didik harus menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan
kemampuannya masing-masing. Hal tersebut dapat menimbulkan penafsiran yang
berbeda didalam badan hukum pendidikan mengenai besarnya biaya pendidikan yang
harus ikut ditanggunng oleh peserta didik. Dengan demikian sekolah yang telah
menjadi Badan Hukum Pendidikan dapat menentukan besar kecilnya biaya pendidikan
kepada peserta didik sesuai dengan kewenangan sekolah tanpa adanya aturan yang
mengatur tentang hal tersebut. Bila hal tersebut dilaksanakan maka masyarakat
yang tidak mampu atau masyarakat menengah ke bawah kemungkinan tidak akan mampu
membayar biaya pendidikan yang telah ditentukan oleh sekolah tersebuut sehinga
peserta didik mengalami putus sekolah dan tidak dapat menikmati pendidikan yang
layak dari pemerintah.
- POKOK-POKOK PERMOHONAN
Bahwa Pemohon mempunyai legal
standing dalam perkara pengajuan permohonan ini;
1.
Bahwa Pemohon telah mengalami kerugian konstitusional,
karena Pemohon sebagai orang tua didik telah kehilangan hak atas pendidikan
yang layak bagi putra-putrinya sebagaimana Pasal 31 ayat (1) UUD 1945.
2.
Bahwa Pemohon merasa menjadi korban dari ketidakadilan
dari Undang-Undang BHP tersebut dikarenakan Pemohon merasa pemerintah telah
melepaskan tanggung jawab biaya pendidikan kepadanya.
3.
Bahwa Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) UU NO. 9 Tahun
2009, berpotensi untuk menimbulkan
beban kepada peserta didik atau orang tua dalam hal pembiayan baiaya
pendidikan. Karena peserta didik atau orang tua harus ikut dalam
mengadakan biaya penyelenggaraan sekolah yang telah menjadi Badan Hukum
Pendidikan, dan hal itu akan menimbulkan bebean finansial bagi peserta didk
dalam memperoleh pendidkan yang layak.
4.
Bahwa Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) UU NO. 9 Tahun
2009, berpotensi menimbulkan adannya diskriminasi dalam memperoleh pendidikan
yang layak. Orang tua peserta didik yang tidak mampu membayar biaya pendidikan
tersebut akan memilih untuk tidak menyekolahkan anaknsebut, sehingga peserta
didik yang bersangkutan dapat mengalami putus sekolah.
5.
Bahwa Pasal 22 ayat (1) d UU NO. 16 Tahun 2004
tersebut telah merugikan Pemohon secara aktual, karena :
a. Pemohon
merasa merupakan korban dari lepas tangan tanggung jawab pemerintah dalam
bidang pendidikan.
b. Pemohon
telah kehilangan hak untuk dapat menikmati pendidikan yang layak.
c. Pemohon
telah merasa mengalami diskriminasi dalam bidang pendidikan, khususnya dalam
hal pendaftaran peserta didik ke sekolah yang telah menjadi Badan Hukum
Pendidikan.
6.
Ketentuan Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) UU No. 9
Tahun 2009, merupakan pasal yang potensial dikualifikasi melanggar prinsip
penghormatan dan pengakuan terhadap hak asasi manusia, dalam hal ini hak untuk
memperoleh pendidikan yang layak. Dengan perumusan Pasal yang demikian, maka
Pasal a quo tidak proporsional dan berlebihan dan dengan sendirinya
melanggar Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
- Provisi
- Bahwa mengingat Pasal 58 UU Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa Putusan Mahkamah tidak berlaku surut, maka untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak konstitusional Pemohon. Pemohon memohon agar Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menerbitkan Putusan Sela yang memerintahkan penundaan bagi keberlakuan UU BHP tersebut dan merevisi isi dari Undang-Undang tersebut terutama pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) yang menjadi tuntutan Pemohon.
- Adalah benar bahwa pemeriksaan perkara pengujian undang-undang sebagaimana dikatakan dalam keterangan pers Ketua Mahkamah Konstitusi baru-baru ini adalah bersifat abstrak, yakni menguji pasal tertentu dari suatu undang-undang dengan pasal tertentu dari UUD 1945, namun patut disadari bahwa subyek hukum pemohon yang mengajukan perkara pengujian undang-undang berkewajiban untuk mendalilkan bahwa telah ada hak konstitusionalnya yang bersifat kongkrit dan faktual yang dilanggar dengan berlakunya suatu undang-undang. Dengan cara itulah subyek hukum itu baru dianggap memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang. Tanpa bukti kongkrit dan faktual seperti itu, maka subyek hukum tidaklah memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang. Karena itu tidaklah sepadan dan sebanding, jika permohonan yang wajib dibuktikan telah ada kerugian hak konstituional, yang berarti perkara dimulai dengan kasus yang nyata dan faktual terjadi, namun proses pemeriksaan pengujian justru mengabaikannya dan memandang perkara sebagai semata-mata bersifat abstrak. Kemudian dengan cara pandang abstrak seperti itu, Mahkamah Konstitusi tidak diberi kewenangan oleh undang-undang untuk memberikan putusan provisi dalam perkara pengujian undang-undang. Kekosongan pengaturan mengenai putusan provisi, selain bertentangan dengan norma dasar keadilan yang justru harus menjiwai perumusan norma-norma hukum, tetapi juga mengandung corak pembiaran bagi aparatur Negara dan/atau aparatur pemerintah untuk bertindak sewenang-wenang melanggar dan merugikan hak konstitusional seseorang yang dijamin oleh UUD dengan cara menerapkan dan/atau menafsirkan suatu ketentuan undang-undang. Sementara norma undang-undang itu sedang diuji untuk memastikan apakah norma undang-undang itu bertentangan dengan UUD atau tidak. Atau sekurang-kurangnya sedang dimohonkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memberikan tafsir final agar norma undang-undang tidak bertentangan dengan norma Konstitusi. Karena itu, Pemohon berpendapat bahwa sudah sepantasnya, Mahkamah Konstitusi memperluas jusrisprudensi mengenai dikabulkannya permohonan provisi sebagaimana tertuang dalam Putusan No 133/PUU-VII/2009, terutama terhadap kasus-kasus kongkrit dan faktual yang dialami oleh seseorang yang membuatnya memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang yang berkaitan langsung dengan hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945.
Dengan semua
argumen dan alasan-alasan yang dikemukakan diatas, Pemohon memohon dengan
segala hormat kepada Majelis Hakim Konstitusi, dengan segala kebijaksanaan dan
pengalaman yang dimilinya, kiranya berkenan untuk mengabulkan permohonan
provisi ini.
- PETITUM
Bahwa dari seluruh dalil-dalil yang
diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir, dengan ini Pemohon mohon kepada
para Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk kiranya berkenan
memberikan putusan sebagai berikut:
Dalam
Provisi:
1.
Menerima permohonan Provisi Pemohon;
2.
Menunda atau membatalkan keberlakuan dari
Undang-Undang No.9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan atau merevisi
Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) karena pasal tersebut dirasa merugikan Pemohon
sebagai warga negara yang berhak atas pendidikan yang layak.
Dalam Pokok
Perkara:
1.
Menerima dan mengabulkan permohonan pengujian
Pasal 41 ayat (7) dan (8) UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan
Hukum Pendidikan (BHP) terhadap Undang – Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2.
Menyatakan Pasal Pasal 41 ayat (7) dan (8) UU No. 9
Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP)
bertentangan dengan Pasal 31 ayat (1) danayat (2) Undang-Undang
Dasar Tahun 1945, sepanjang tidak ditafsirkan sesuai masa jabatan Presiden dan
masa jabatan anggota kabinet;
3.
Menyatakan Pasal Pasal 41 ayat (7) dan (8) UU No. 9
Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP), tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya, sepanjang
tidak ditafsirkan sesuai masa jabatan Presiden dalam satu periode dan masa
jabatan anggota kabinet;
4.
Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat dan
menganggap Pasal 41 ayat (7) dan (8) UU No. 9 Tahun 2009
tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) tetap mempunyai kekuatan
hukum mengikat dan berlaku, mohon agar Majelis Hakim Konstitusi dapat memberikan
tafsir konstitusional terhadap Pasal
41 ayat (7) dan (8) UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum
Pendidikan (BHP), dengan menyatakan konstitusional bersyarat (conditionally
constitutional) diartikan bhawa peserta didik tidak ikut menanggung biaya
penyelenggaraan pendidkan dari Badan Hukum Pendidikan atau terdapat aturan mengenai besar kecilnya biaya pendidkan
yang harus ditanggung peserta didik secara proporsional dan berkeadilan.
5.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara
Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)
Hormat Pemohon
Dedi Triyanto
0 komentar:
Posting Komentar